“Perusahaan-perusahaan tambang nikel ini seharusnya telah memiliki sistem dan teknologi mumpuni dalam pengolahan limbah untuk mencegah terjadinya pencemaran lingkungan, mengingat perencanaan dan kewajiban perusahaan-perusahaan tambang sudah harus tercakup dalam dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup perusahaan. Akan tetapi, justru berbanding terbalik dengan fakta perubahan warna air sungai yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan perusahaan-perusahan tersebut,” ujar Safrudin, Ahad (3/9/2023) saat dilansir dari NMG.
BACA JUGA : Sekotak Rindu di Dermaga
Karena itu, ia menegaskan perlu ditinjau kembali terkait izin pertambangan yang berada di wilayah Desa Sagea. Bencana sosial-ekologis yang terjadi di Desa Sagea harus menjadi catatan penting bagi pemerintah, khususnya pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian LHK dan Kementerian ESDM untuk tidak lagi mengobral izin industri ekstraktif berbasis lahan skala luas.
Pemerintah, lanjut dia, baik nasional maupun daerah harus bertindak tegas, yakni mencabut seluruh izin tambang bagi perusahaan yang telah menyebabkan bencana sosial-ekologis di Desa Sagea. Sebab, fakta keberadaan perusahaan pertambangan tersebut membawa kerugian pada masyarakat dan lingkungan di wilayah Desa Sagea.
“Untuk itu, kami mendesak KLHK dan KESDM untuk mengambil tindakan tegas, yakni mencabut izin dan menghentikan aktivitas tambang dan industri ekstraktif lainnya yang berada di wilayah Desa Sagea, yang secara de facto terbukti memproduksi bencana ekologis,” pungkas mantan Ketua HMI Cabang Ternate itu. (sm)
**) Ikuti berita terbaru Mediasemut.com di Google News klik link ini dan jangan lupa Follow
Discussion about this post