(UNTUK BUNG OLIS)
Penulis; Ardiansyah Fauzi (Novelis)
Suatu hari, Rasulullah SAW sedang duduk dengan beberapa sahabat, salah satunya Abu Hurairah. Kemudian Nabi berkata “Siapa yang mengucapkan La ilaha illahah insha Allah masuk surga”. Abu Hurairah begitu senang mendengar itu, dan bergegas menuju ke pasar, hendak menyampaikan kabar itu kepada khalayak ramai. Ditengah perjalanan, Abu Hurairah bertemu dengan Sayyidina Umar ra. Ia kemudian bertanya kepada Abu Hurairah, mengapa kau berjalan tergesa-gesa? Ia lalu menjelaskan maksudnya hendak ke pasar, mau menyampaikan kabar yang baru saja ia dapat dari Rasulullah.
Tapi Sayyidina Umar ra langsung mencegatnya, jangan kau sampaikan kabar ini, nanti akan ada yang salah tafsir sehingga akan mengabaikan ibadah-ibadah lainnya. Sambil memegang tangannya, Sayyida Umar mengajaknya kembali pada Rasulullah SAW.
Padahal itu kabar berita baik, tapi karena sangat berpotensi disalahpahami banyak orang, sebaiknya jangan disampaikan kepada khalayak ramai. Sebab kemampuan orang memahami sebuah berita berbeda-beda, meskipun yang hendak dikabarkan itu benar.
Karena itu ada tuntunannya, untuk menyampaikan sebuah kabar berita, kita harus memperhatikan apa isinya dan yang paling penting memperhatikan kepada siapa berita itu disampaikan. Karena itu pesan agama, menyampaikan sesuatu harus menyesuaikan dengan kemampuan yang akan mendengarkan, sebab kalau tidak pendengar akan menganggap itu suatu kebohongan, kegilaan atau ketidakbenaran. Jika pesan ini diperhatikan, sebenarnya banyak waktu kita yang tersisah untuk kebaikan.
Saya sesungguhnya tidak ingin menulis tentang peristiwa yang beredar beberapa hari ini yang dipicu oleh opini seseorang. Prinsip paling dasar sebuah opini adalah pendapat seseorang yang belum jelas kebenaranya, informasi yang hanya berisi subjektifitas pikiran dan sudut pandang penulis. Karena itu saya menolak meladeninya. Bagi saya sudah cukup penghakiman yang muncul baik di publik juga di media sosial (medsos), sehingga menggeser jauh substansi persoalan, mengaburkan banyak hal, sehingga yang tertinggal di beranda-beranda medsos hanya umpatan, tuduhan-tuduhan dan sarkasme penuh emosi dan cukup arogansi.
Sampai disuatu titik, Bung Olis mencaplok Ayat Alquran untuk mencoba menjelaskan posisinya sebagai pewarta yang menulis opini hingga menimbulkan respon tak menyenangkan dari berbagai pihak. Ditengah kegaduhan bung Olis secara halus hendak mengatakan seluruh berita klarifikasi yang dilakukan atas opininya adalah sebuah kebohongan karena disampaikan orang-orang fasik. Penulis opini mengambil Al Hujurat untuk membentengi dirinya, maksud terselubung itu yang saya tantang.
Tindakan tersebut merupakan sebuah pencaplokan ayat menurut hemat saya, karena bung Olis tidak punya qualified untuk melakukan tafsir atas ayat tersebut, karena untuk menjadi seorang mufasir prasyaratnya cukup ketat. Bahkan lebih ektrims, sebagian ulama mengingatkan bahwa yang bisa menafsir ayat-ayat Alquran sesungguhnya hanyalah Rasulullah SAW. Karena hanya Rasulullah yang paling tau asbabun nuzul dan maksud ayat-ayat itu turun, baik sebagai peringatan juga pengingat.
Terkait dengan surah Al Hujurat ayat 6 yang dipakai bung Olis dalam tulisannya, dan menurut tafsirnya memberi penekanan pada pekerja pers sesungguhnya keliru jika kita dalami tafsir Al-Misbah Muhammad Quraish Shihab. Sebab ayat itu turun, adalah berita bohong yang disampaikan al Walid bin Uqbah ketika diutus Rasulullah SAW untuk mengambil zakat kepada Al-Harts sebagai mana janji Al Harts kepada Rasulullah ketika ia masuk islam, dalam perjalanannya Uqbah tidak pernah bertemu Al-Harts tapi dia kembali ke hadapan Rasulullah dan mengatakan bahwa Al Harts tidak mau menyerahkan zakat dan hampir membunuhnya. Kemudian ayat ini turun untuk mengingatkan Rasulullah jika ada orang fasik datang membawa kabar penting maka harus tabayyun.
Tapi apakah ketika Rasulullah tahu Uqbah seorang fasik kemudian menyebarkan berita itu kepada orang-orang? Tidak. Jadi sebenarnya fungsi pers telah terhenti ketika sudah melakukan tabayyun atas sebuah kabar atau informasi atau berita. Karena tabayyun dalam tafsir Al Misbah atas ayat ini, cari tahu, cek and ricek, selidiki. Jika kemudian anda tahu kabar itu suatu kebohongan maka tinggalkan. Jika dianggap kabar itu benar, ukur dulu boleh disampaikan atau tidak, ada etikanya. Quraish Shibab menerangkan ada 3 tingkatan sampai suatu berita boleh disampailan. Pertama, sodorkan pada akal anda, ini boleh disebarkan atau tidak. Jika akal membolehkan selanjutnya sodorkan pada agama, ini baik atau tidak untuk disebarkan. Jika akal membolehkan, agama membolehkan maka yang terakhir apakah ini boleh disebarkan hanya pada satu orang (terbatas) ataukah ke publik.
Bisa jadi gagasan atau informasi tentang seseorang dalam bentuk opini yang belum jelas kebenarannya yang anda sebar apalagi hanya dengan mengutip ucapannya lewat sepotong video via medsos meskipun benar, tanpa orang itu tahu maka anda telah melakukan perbuatan ghibah. Bisa jadi informasi yang anda sampaikan benar namun menimbulkan kesalahpahaman dalam masyarakat ketika menerimanya sehingga membuat perpecahan maka anda termasuk penghasut.
Diawal tulisan Bung Olis setelah mencopy paste Al Hujarat ayat 6, ia membukanya dengan kalimat berita itu amanah, yang saya curigai diambil dari ceramah Ustad Abdul Somad “Ada amanah dalam berita” karena sulit sekali kita menemuka literatur tentang ini, dan saya kesulitan mencari referensi juga dalillnya sampai menemukan ceramah ustad UAS. Menurut UAS ketika wartawan menyampaikan berita tidak benar maka sesungguhnya hukumnya ada dua, di dunia dan akhirat. Namun apabila seorang wartawan menyampaikan berita yang benar maka ia akan mendapatkan pahala. Ada amanah dalam berita. Ini lebih mengerihkan ketika orang mempermainkan berita hanya untul setengah sayap nyamuk atau dunia.” Tausiyah ini disampaikan UAS dengan tajuk “Kode Etik Jurnalistik Dalam Perspektif Islam.”
Pada paragraf 1,2 dan 3 bung Olis berusaha menafsir Al Hujurat ayat 6 untuk menguatkan argumentasinya akan sebuah berita yang batalkan oleh kefasikan. Dimana kata fasik itu terambil dari kata ‘fasaqah’ dalam tafsir Al Misbah, yang mulanya bermakna terkelupasnya kulit buah yang sudah matang atau keluarnya seseorang dari tuntunan agama karena ucapannya. Pada mulanya bermakna seperti itu, namun dalam rumus pakar-pakar hukum islam, fasik itu, orang-orang yang melakukan dosa besar atau seringkali melakukan dosa-dosa kecil tanpa sadar tanpa bertaubat.
Pada paragraf selanjutnya, bung Olis hanya membedah opininya sendiri dari sepotong kalimat dalam sambutan Wakil Walikota yang kemudian menjadi judul tulisannya “Hirup Debu Batubara Mendapat Pahala” bung Olis mengakui bahwa ia menulis opini tersebut dengan pendekatan satire. Padahal, kalau saja bung Olis sedikit mau bersabar dan melakukan tabayyun sebagaimana perintah Al Hujurat ayat 6 atas sebuah informasi yang ia dengar lewat potongan video via FB, Wakil Walikota mengucapkan kalimat itu juga sebagai sebuah satire. Hanya saja kronologis dan latar belakang mengapa sampai Wakil Walikota mengucapkan satire seperti itu tidak diketahui oleh bung Olis sehingga gagal memahaminya dengan baik.
Dalam tafsir Al-Misbah atas Al Hujurat ayat 6, Quraish Shihab membedakan dengan jelas ‘khabar’ bersifat umum dan ‘naba’ dimana, ‘naba’ yang dimaksud dalam ayat tersebut berarti berita sangat penting, bersifat khusus. Karena itu Allah memulainya dengan ‘Wahai Orang-Orang Beriman’ berarti ada sesuatu yang perlu diperhatikan, bersifat penting.
Sebagai penutup, Jangan-jangan bung Olis dan saya masuk dalam kategori orang fasik, sehingga informasi apapun yang kita sampaikan, berita apapun yang kita tulis dan dibaca oleh publik mesti diragukan kebenaranya. Sebagai mana rumusan pakar-pakar islam. Orang yang melakukan dosa besar kategori fasik yakni membunuh, korupsi, sementara orang yang seringkali berbuat dosa kecil berulang-ulang juga termasuk orang fasik, contohnya bercanda namun menyakiti hati orang lain, jika itu dilakukan berulang-ulang kali maka termasuk kategori fasik. Kita mungkin belum melakukan dosa-dosa besar yang termasuk ketegori fasik tapi bisa jadi kita sudah melakukan dosa-dosa kecil berulang-ulang, tanpa sadar tanpa bertaubat. Semoga kita semua terhindar dari kefasikan.
Wallahualam Bissawab***
Discussion about this post