Bahasa daerah menjadi aset kebudayaan kearifan lokal, yang dimiliki oleh suku bangsa yang ada di Nusantara. Saat ini, masyarakat dirundung kekhawatiran terhadap bahasa daerah yang bisa saja terancam punah akibat tergilas oleh perkembangan zaman yang semakin pesat. Terlebih penggunaan bahasa daerah yang notabenenya dikatakan ‘Identitas Suku’. Belakangan ini, penggunaan bahasa daerah dalam masyarakat sudah sangat minim dan anjlok begitu saja.
Komitmen mempertahankan bahasa daerah sebagai identitas etnik, harus terus dipertahankan, melihat Indonesia menjadi negara yang memiliki bahasa daerah terbanyak kedua di dunia. Dilansir dari Kompas.Com (01/02/2023) hasil pemetaan yang dilakukan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), tahun 2019 mencatat terdapat 718 bahasa daerah yang tersebar dari ujung Pulau Sumatra hingga Papua. Dari 718 bahasa daerah di 34 provinsi, 25 bahasa daerah terancam punah, 6 dinyatakan kritis dan 11 bahasa telah punah.
Di Maluku Utara sendiri, Dilansir dari Antara Maluku (28/10/2022), Kepala Kantor Bahasa Maluku Utara, Syarifuddin mangatakan bahwa “….Di Maluku Utara, ada 19 bahasa daerah tersebar disepuluh kabupaten/kota, dan ada beberapa bahasa daerah yang terancam punah”.
Dilihat dari data di atas, eksistensi bahasa daerah kian terpinggirkan dan terancam punah. Padahal, bahasa daerah memegang peranan penting bagi masyarakat suatu daerah. Seperti halnya beragam bahasa daerah masyarakat Taliabu. Bagi masyarakat Taliabu khususnya Desa Sahu, bahasa daerah telah menjadi indentitas, jati diri, ciri khas serta alat komunikasi penting dan utama. Di sisi lain, bahasa daerah bagi masyarakat Taliabu Sahu, telah menjadi sebuah kekayaan luar biasa. Karena selama berabad-abad, bahasa ini telah menjadi instrumen yang dalam peradabannya telah diimplementasikan ke bentuk lisan dan tulisan.
Mengingaat Pulau taliabu memiliki beberapa etnik yakni etnik Taliabu (asli Taliabu atau dari dalam Taliabu sendiri) dan etnik Buton, Bugis-Makassar, Sula, dan Jawa (berasal dari luar Taliabu). Karena memiliki beberapa etnik, maka bahasa yang digunakan pun berbeda-beda. Secara garis besar, ada tiga kategori bahasa yang digunakan di Taliabu Sahu: Bahasa Taliabu asli, bahasa Buton, dan Bahasa Sula. Tetapi bahasa Buton menjadi penutur terbanyak Di Desa Sahu.
Edukasi Bahasa Daerah di Sekolah
Banyaknya polemik yang terjadi terkait dengan bahasa daerah, maka diperlukanya revitalisasi bahasa daerah. Dunia pendidikan, memegang peranan penting untuk merevitaliasi hal tersebut. Penggunaan bahasa daerah dianggap mampu membantu peserta didik lebih memahami pelajaran yang diterima di sekolah. Pelestarian bahasa daerah bisa dilakukan dengan memasukan bahasa daerah sebagai mata pelajaran muatan lokal di sekolah.
Kala itu, di tahun 2008 hingga 2012 di Taliabu Sahu, bahasa daerah Taliabu diajarkan, serta diterapkan secara resmi dan masuk kurikulum di sekolah jenjang SD dan SMP. Dengan keterbatasan guru bahasa Taliabu, para siswa masih diberikan edukasi yang cukup agar lebih mengenal dan menguasai bahasa daerah Taliabu.
Pada saat di kelas, di sela-sela mulainya mata pelajaran muatan lokal, Pak Hesron, guru muatan lokal bahasa Taliabu, selalu menyempatkan dengan menyapa para muridnya menggunakan bahasa Taliabu “A mei mei mai, kemo habari besa di huko Kapa maii.” Selamat pagi anak-anak, bagaimana kabarnya hari ini? “Ihi pak” Baik pak, ujar para murid.
Seusai itu, Pak Hesron menyuruh para murid untuk maju menyetor hafalan yang telah di tugaskan minggu lalu. Beliau selalu memberikan kebebasan kepada murid, untuk siapa saja yang siap maju duluan untuk menyetor hafalan bahasa Taliabu. Saya, dengan penuh antusias maju ke depan dan mengingat kata yang sudah di hafal pada malam hari, saya pun langsung melafalkan beberapa kata bahasa Taliabu yang sudah di hafal ” Bia, wayo, ala, lau, etan ” Baik, air, mengambil, pergi, buruk.
Namun sayangnya, tradisi seperti itu lama kelamaan anjlok dan hilang, beberapa dekade kemudian; 2013 hingga sekarang, bahasa daerah ini sudah tidak diajarkan lagi di sekolah. Seakan lenyap di telan zaman. Entah apa faktornya, tapi waktu itu menimbulkan banyak pertanyaan serta polemik di kalangan masyarakat terlebih lagi di kalangan para siswa.
Akan tetapi, keresahan tersebut tidak berlangsung lama atau hanya sementara, sebab tidak adanya penegasan sikap masyarakat dalam menindaklanjuti kekhawatiran dan rasa penasaran tersebut. Berlarut-larut, akhirnya hal ini tidak berlanjut dan tenggelam begitu saja.
Berkaca dari sikap masyarakat terhadap problem di atas, mereka sudah tidak lagi memperhatikan pelestarian bahasa daerah. Tidak ada upaya untuk menurunkan bahasa daerah kepada anak-anak atau generasi selanjutnya. Bukan hanya masyarakat, anak-anak dan pemerintah pun tidak turut andil dalam pelestarian bahasa daerah.
Jika berkurangnya kesadaran masyarakat dan pemerintah untuk mengenalkan bahasa daerah pada generasi selanjutnya, pihak sekolah bisa mengambil kebijakan sendiri untuk memasukan pelajaran bahasa daerah sebagai mata pelajaran sampingan, dengan menggunakan metode pengajaran berdasarkan teori yang berbeda-beda dan digunakan sebagai bahasa pengantar sebelum memulai pelajaran, siswa diwajibkan menghafal, bercakap-cakap serta menyebutkan nama benda menggunakan bahasa daerah.
Hal ini sesuai dengan cerita dari Samsuria Buamona (04/02/2023), Mahasiswa Antropologi Unkhair, yang turun langsung mengajar di SDN Ome, Kecamatan Tidore Utara, Kota Tidore Kepulauan, untuk melaksanakan program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Ia mengatakan bahwa di SD tersebut sekolah menerapkan bahasa Daerah. Di mana setiap hari kamis, pada saat apel pagi, guru memberikan arahan kepada siswa “Ngoto wongge moi sado pala rangge g Ngon Sorai mapolu rete-rete. Moi, malofo, rangge“. Dalam hitungan ketiga anak-anak harus berbaris dengan rapi. Satu, dua, tiga. Dengan gerakan cepat, para siswa pun mengikuti arahan tersebut.
Bukan saja di Tidore Kepulauan, revitaliasi bahasa di sekolah sudah mulai diterapkan hampir di seluruh Maluku Utara; Kabupaten Kepulauan Sula, Halmahera Timur, serta Kota Ternate.
Dari informasi di atas, penggunaan bahasa daerah di kelas berpotensi meningkatkan kemampuan siswa dalam menguasai bahasa daerah. Bahasa daerah di Taliabu, layak dijadikan mata pelajaran di setiap kurikulum sekolah. Apalagi banyak sarjana yang menguasai bahasa daerah, yang bisa menjadi tenaga pengajar bahasa daerah di sekolah-sekolah. Hal ini dapat menjadi entitas kebudayaan masyarakat, serta membangkitkan semangat anak didik dalam melestarikan bahasa daerah, sehingga menjauhi ancaman kepunahan bahasa.
Untuk mencegah terancamnya bahasa daerah, maka lagi-lagi dibutuhkan peran pemerintah dan masyarakat dalam mengoptimalkan pelestarian. Dari sisi pemerintah, bisa mengoptimalkan pendidikan muatan lokal pada berbagai jenjang pendidikan. Dalam artian, harus menghadirkan kamus serta buku muatan lokal bahasa Daerah. Termasuk mendorong lembaga pendidikan dalam hal ini Dinas Pendidikan khususnya di Pulau Taliabu, untuk mendukung pelestarian tersebut dengan cara memasukan atau menerapkan kembali bahasa daerah ke dalam kurikulum Nasional di sekolah. Melihat di Taliabu ada campuran siswa yang berasal dari suku berbeda-beda, maka bahasa daerah yang diedukasi bukan saja bahasa Taliabu, melainkan juga bahasa Buton, Sula, Bugis maupun Jawa. Urgensinya, dengan adanya edukasi tersebut, para siswa bisa mengetahui bermacam-macam bahasa dari suku yang berbeda-beda.
Oleh sebab itu, guna mempertahankan eksistensi bahasa daerah, sudah menjadi kewajiban pemerintah dan masyarakat dalam melestarikan, meneruskan dan menuturkan kepada setiap generasi membiasakan anak-anak berbahasa daerah dalam aktivitas sehari-hari, sehingga anak menjadi biasa. Di sinilah warisan bahasa daerah tetap terjaga.(*)
Discussion about this post