Oleh : Rusdi Arfah Fasda PUG Provinsi pada Dinas PP-PA Prov. Malut
Kesetaraan gender dan keadilan gender dapat diartikan sebagai suatu kondisi dimana peran dan tanggung jawab sosial perempuan dan laki–laki setara, seimbang dan harmonis. Kondisi ini dapat terwujud apabila terdapat perlakuan adil antara perempuan dan laki–laki. Kesetaraan dan Keadilan gender secara umum diartikan sebagai tidak adanya diskriminasi gender. Ketidakadilan gender atau diskriminasi gender merupakan akibat dari adanya sistem (struktur)sosial dimana salah satu jenis kelamin(laki-laki maupun perempuan) menjadi korban. Hal ini terjadi karena adanya keyakinan dan pembenaran yang ditanamkan sepanjang peradaban manusia dalam berbagai bentuk dan cara yang menimpa kedua belah pihak, walaupun dalam kehidupan sehari-hari lebih banyak dialami oleh perempuan.
Peringatan hari Ibu di Indonesia dilaksanakan pada 22 Desember setiap tahunnya.Tanggal tersebut dipilih karena bertepatan dengan diselenggarakannya Kongres Perempuan I pada tanggal 22-25 Desember 1928.Kongres Perempuan ini dimulai dengan semangat kesamaan pandangan untuk mengubah nasib perempuan di Indonesia.Peringatan hari ibu seringkali disejajarkan dengan Mother’s day yang diperingati pada setiap minggu kedua bulan Mei di Negara-negara barat seperti Amerika Serikat dan Kanada.Perayaan Mother’s Day di negara-negara tersebut cenderung sebagai ungkapan terima kasih dari anak kepada ibunya. Mother’s Day menjadi hari libur resmi Amerika Serikat pada tahun 1914 ketika Presiden Woodrow Wilson memproklamasikan hari Minggu kedua di bulan Mei sebagai hari “ekspresi publik atas cinta dan hormat kami kepada para ibu di negara kami.” Hari Ibu Nasional yang terinspirasi dari Kongres Perempuan Indonesia I di Yogyakarta tersebut dihadiri oleh ratusan perempuan yang mewakili berbagai perhimpunan wanita.Kongres diisi dengan orasi tentang kesetaraan dan emansipasi wanita.Agenda yang dibahas pada saat itu adalah peran perempuan untuk pendidikan, kemerdekaan, pembangunan bangsa, perbaikan gizi dan anak, serta kesejahteraan perempuan.Hal ini merupakan titik penting kebangkitan perempuan Indonesia untuk berperan dalam pembangunan bangsa.Presiden Soekarno kemudian menetapkan 22 Desember sebagai Hari Ibu melalui Dekrit Presiden RI No.316 Tahun 1959.Kongres Perempuan I merupakan sebuah langkah yang sangat hebat untuk ukuran perempuan di masa kolonial.Berawal dari kongres itu muncul kesadaran bahwa perempuan memiliki banyak peranan penting dalam kehidupan untuk mengisi kemerdekaan yang pada saat itumasih menjadi sebuah cita-cita.Peranan perempuan saat itu tentu merupakan panggilan dari fitrahnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
Prinsip-prinsip keadilan gender ditemukan dalam Konvensi CEDAW 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, yang menetapkan tidak adanya diskriminasi berbasis gender sebagai indikator keadilan gender. Definisi hukum CEDAW tentang diskriminasi terhadap perempuan terdapat pada Pasal 1 Konvensi :“Diskriminasi terhadap perempuan’ Istilah berarti setiap pembedaan, eksklusi, atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang memiliki efek pada perusakan atau penghapusan pengakuan, penikmatan atau pelaksanaan oleh perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan pria dan wanita, hak asasi manusia dan kebebasan fundamental dalam politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang lain”(Cook 1997:189). Istilah Keadilan gender bukan konsep yang mudah untuk dirumuskan. Keadilan gender berkaitan dengan karakteristik perempuan dalam kelas sosial yang spesifik. Goetz (2007:15-16) mengemukakan 3 argumen.Pertama, perempuan tidak dapat diidentikkasi sebagai kelompok yang koheren bersama seperti etnis minoritas atau sosial.Kedua hubungan antara perempuan dan laki-laki dalam keluarga dan masyarakat merupakan kunci terjadinya ketidakadilan gender, oleh karena itu setiap strategi untuk mewujudkan keadilan gender harus fokus pada hubungan kekuasaan di ranah domestic atau konteks ‘pribadi’.Ketiga, pola pikir patriarkal dan hubungan sosial merupakan wilayah private namun terkandung lembaga yang paling ekonomis, sosial dan politik. Keadilan gender mensyaratkan bahwa perempuan mampu memastikan bahwa pemegang kekuasaan baik dalam rumah tangga, masyarakat, pasar, atau pemerintah daerah dapat dimintai pertanggungjawaban sehingga tindakan yang membatasi akses perempuan terhadap sumber daya atau kapasitas dengan alasan gender dapat dicegah. Dengan kata lainPengarusutamaan dan keadilan gender merupakan kondisi ideal yang membutuhkan instrument untuk mewujudkannya.
Suatu pernyataan mendasar yang telah ditetapkan oleh pemerintah, yakni, sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004- 2009 bahwa khususnya terkait permasalahan mengenai masih rendahnya kualitas dan peran perempuan; tingginya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak; Parameter Kesetaraan Gender dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; rendahnya kesejahteraan dan perlindungan anak; kesenjangan pencapaian pembangunan antara perempuan dan laki-laki; banyaknya hukum dan peraturan perundang-undangan yang bias gender, diskriminatif terhadap perempuan, dan belum peduli anak.Perkembangan ilmu dan teknologi menjadi salah satu faktor yang menyebabkan pola pikir masyarakat semakin maju.Kaum laki-laki dan perempuan berlomba-lomba untuk mencari ilmu dan juga peluang untuk mencerdasakan kehidupannya.Masyarakat yang telah mampu berpikir maju juga berupaya merubah kondisi yang menyebabkan terjadinya ketidakadilan dalam kehidupan bermasyarakat antara laki-laki dan perempuan.
Gema Sumpah Pemuda dan lantunan lagu Indonesia Raya yang pada tanggal 28 Oktober 1928 digelorakan dalam Kongres Pemuda Indonesia menggugah semangat para pimpinan perkumpulan kaum perempuan untuk mempersatukan diri dalam satu kesatuan wadah mandiri. Pada saat itu sebagian besar perkumpulan masih merupakan bagian dari organisasi pemuda pejuang pergerakan bangsa.Selanjutnya, atas prakarsa para perempuan pejuang pergerakan kemerdekaan pada tanggal 22-25 Desember 1928 diselenggarakan Kongres Perempuan Indonesia yang pertama kali di Yogyakarta.
Salah satu keputusannya adalah dibentuknya satu organisasi federasi yang mandiri dengan nama Perikatan Perkoempoelan Perempoean Indonesia (PPPI). Melalui PPPI tersebut terjalin kesatuan semangat juang kaum perempuan untuk secara bersama-sama kaum Laki-laki berjuang meningkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia menjadi bangsa yang merdeka, dan berjuang bersama-sama kaum perempuan untuk meningkatkan harkat dan martabat perempuan Indonesia menjadi perempuan yang maju.
Pada tahun 1929 Perikatan Perkoempoelan Perempuan Indonesia (PPPI) berganti nama menjadi Perikatan Perkoempoelan Istri Indonesia (PPII). Pada tahun 1935 diadakan Kongres Perempuan Indonesia II di Jakarta. Kongres tersebut disamping berhasil membentuk Badan Kongres Perempuan Indonesia, juga menetapkan fungsi utama Perempuan Indonesia sebagai Ibu Bangsa, yang berkewajiban menumbuhkan dan mendidik generasi baru yang lebih menyadari dan lebih tebal rasa kebangsaannya. Pada tahun 1938 Kongres Perempuan Indonesia III di Bandung menyatakan bahwa tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu. Selanjutnya, dikukuhkan oleh Pemerintah dengan Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959 tentang Hari-hari Nasional yang Bukan Hari Libur tertanggal 16 Desember 1959, yang menetapkan bahwa Hari Ibu tanggal 22 Desember merupakan hari nasional dan bukan hari libur. Tahun 1946 Badan ini menjadi Kongres Wanita Indonesia disingkat KOWANI, yang sampai saat ini terus berkiprah sesuai aspirasi dan tuntutan zaman.Peristiwa besar yang terjadi pada tanggal 22 Desember tersebut kemudian dijadikan tonggak sejarah bagi Kesatuan Pergerakan Perempuan Indonesia. Hari Ibu oleh bangsa Indonesia diperingati tidak hanya untuk menghargai jasa-jasa perempuan sebagai seorang ibu, tetapi juga jasa perempuan secara menyeluruh, baik sebagai ibu dan istri maupun sebagai warga negara, warga masyarakat dan sebagai abdi Tuhan Yang Maha Esa, serta sebagai pejuang dalam merebut, menegakan dan mengisi kemerdekaan dengan pembangunan nasional.
Peringatan Hari Ibu dimaksudkan untuk senantiasa mengingatkan seluruh rakyat Indonesia terutama generasi muda, akan makna Hari Ibu sebagai Hari kebangkitan dan persatuan serta kesatuan perjuangan kaum perempuan yang tidak terpisahkan dari kebangkitan perjuangan bangsa. Untuk itu perlu diwarisi api semangat juang guna senantiasa mempertebal tekad untuk melanjutkan perjuangan nasional menuju terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Semangat perjuangan kaum perempuan Indonesia tersebut sebagaimana tercermin dalam lambang Hari Ibu berupa setangkai bunga melati dengan kuntumnya, yang menggambarkan:
- kasih sayang kodrati antara ibu dan anak;
- kekuatan, kesucian antara ibu dan pengorbanan anak; dan
- kesadaran wanita untuk menggalang kesatuan dan persatuan, keikhlasan bakti dalam pembangunan bangsa dan negara.
Mengutip beberapa hasil diskusi dengan pakar gender yang bertajuk Ketika Laki-Laki Bicara Kesetaraan Genderyang di fasilitasi Kementrian PPPA, diantaranya disampaikan oleh Kepala Dinas PPPA Provinsi Sulawesi Tengah (Bpk. Ihsan Basir) Bahwa berbicara gender bukan hanya berbicara tentang perempuan, tetapi berbicara tentang fungsi, peran dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan, lain halnya dengan Nur Hasyim (Co-Founder Aliansi Laki-Laki Baru) “Perempuan mulailah belajar untuk berbicara dan laki-laki mulailah belajar untuk mendengar” karena selama ini ruang untuk laki-laki terlalu banyak saatnya memberikan kesempatan bagi perempuan untuk berbicara, berkarya,bertindak tanpa harusmeninggalkan kodratnya sebagai seorang perempuan. sementara menurut pakar gender lainnya Nani Zulmirnani (Pendiri PEKKA dan Regional Leader ASHOKA South East Asia) bahwa gender itu bukan persoalan perempuan, tapi persoalan manusia, maka manusiakanlah manusia karena disitu ada persoalan stunting, disabilitas, lansia dll. maka ketika bicara kesetaraan gender tidak terlepas dari ketidakadilan gender itu sendiri (marginalisasi, subordinasi, stereotype,kekerasan dan beban ganda).
Upaya yang dilakukan guna menghapuskan ketidakadilan gender adalah dengan melaksanakan suatu strategi yang disebut dengan Pengarusutamaan Gender. Pengarusutamaan Gender (PUG) merupakan salah satu strategi pembangunan yang dilakukan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender, melalui pengintegrasian pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan perempuan dan laki-laki kedalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari seluruh kebijakan, program, proyek dan kegiatan diberbagai bidang kehidupan dan pembangunan.Kegagalan dalam mencapai cita – cita demokrasi, seringkali dipicu oleh ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender. Karena tujuan dari Pengarusutamaan gender dalam pembangunan dapat dilihat pada penerapan kesetaraan gender dan keadilan gender (KKG). Wujud dari kesetaraan dan keadilan gender meliputi Akses, partispasi, kontrol dan manfaat.Ketidaksetaraan ini dapat berupa diskriminatif yang dilakukan oleh mereka yang dominan baik secara structural maupun kultural.Perlakuan diskriminatif dan ketidaksetaraan dapat menimbulkan kerugian dan menurunkan kesejahteraan hidup bagi pihak-pihak yang termarginalisasi dan tersubordinasi. Sampai saat ini diskriminasi berbasis pada gender masih terasakan hampir di seluruh dunia, termasuk di negara di mana demokrasi telah dianggap tercapai. Dalam konteks ini, kaum perempuan yang paling berpotensi mendapatkan perlakuan yang diskriminatif, meski tidak menutup kemungkinan laki-laki juga dapat mengalaminya. Pembakuan peran dalam suatu masyarakat merupakan kendala yang paling utama dalam proses perubahan sosial. Sejauh menyangkut persoalan gender di mana secara global kaum perempuan yang lebih berpotensi merasakan dampak negatifnya.Berbagai cara tengah dilakukan diupayakan untuk mengurangi ketidaksetaraan gender yang menyebabkan ketidakadilan sosial. Upaya tersebut dilakukan baik secara individu, kelompok bahkan oleh negara dan dalam lingkup lokal, nasional dan internasional.Upaya upaya tersebut diarahkan untuk, menjamin kesetaraan hak-hak azasi, penyusun kebijakan yang pro aktif mengatasi kesenjangan gender, dan peningkatan partisipasi politik.
Pandemi Covid-19 saat ini memperlihatkan bahwa perempuan mendapat beban lebih berat, seperti hasil survei yang dilakukan oleh UN Women bekerja sama dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dan Indosat Ooredoo, bahwa pandemi Covid-19 telah memperparah kerentanan ekonomi perempuan dan ketidaksetaraan gender serta dapat mengancam upaya pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG’s), Namun di samping itu ternyata perempuanlah yang mengambil peran pertama bergerak menanggapi bencana Covid-19 ini sebagai penggerak sosial dengan membuat gerakan gotong-royong membangun kesadaran bersama untuk penyediaan makanan, dan alat pelindung diri (masker). Perempuan bergerak mengatasi kondisi ekonomi diantaranya dengan memproduksi kebutuhan yang meningkat pada saat pandemi, seperti masker, desinfektan dan alat pelindung yang melibatkan banyak orang.Perempuan juga mengambil peran penting dalam memerangi Covid-19 dengan menjadi tenaga kesehatan, ilmuwan/peneliti, dan dapat diandalkan untuk mencegah penyebaran Covid-19, yakni melalui keluarga.
Pengimplementasikan kesetaraan gender dalam pembangunan, diperlukan sebuah strategi yang dapat mengintergrasikan gender dalampembangunan. Oleh karena itu melalui Inpres No.9/2000 diamanatkan pengarusutamaan gender (PUG) sebagai salah satu strategi pembangunan yang dilakukan dengan cara pengintegrasian pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan kepentingan perempuan dan laki-laki kedalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari seluruh kebijakan, program proyek dan kegiatan diberbagai bidang kehidupan dan pembangunan. Pengarusutamaan gender merupakan sebuah proses yang memasukan analisa gender kedalam program-program kerja dan seluruh kegiatan instansi pemerintah dan organisasi kemasyarakatan lainnya, mulai dari tahap perencanaan program, pelaksanaan program, sampai monitoring dan evaluasi program tersebut. Pelaksanaan pengarustamaan gender (PUG) berlandaskan pada 7 (tujuh) indikator yaitu :Komitmen, kebijkan, kelembagaan, Sumberdaya, data Terpilah, Analisis Gender dan Partisipasi Masyarakat.
Semoga kita dapat melanjutkan cita-cita pejuang kaum perempuan bangsa ini seperti R.A Kartini, Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Dewi Sartika,Hajjah Rangkayo Rasuna Said, Nya Ageng Serang, Maria Walanda Maramis, Opu Daeng Siraju, Laksamana Malahayati, Martha Christina Tiahahu dll.Dalam menghilangkan Diskriminasi dan memperjuangkan kesetaraan gender dalam semua lini pembangunan.”Habis Gelap Terbitlah Terang”.(*)
Discussion about this post