MEDIASEMUT.COM – Tak banyak teman-teman mahasiswa atau sebagian besar para Akademisi di Institut Sains dan Kependidikan (ISDIK) Maluku Utara, ada seorang penulis muda yang diam-diam telah menerbitkan beberapa buku, selama setahun belakangan ini. Di antaranya berupa kumpulan cerpen bersama, antologi puisi.
Kampus berwarna biru yang berdiri kokoh di bumi Kieraha itu berhasil menyembunyikan identitasnya dari keramaian banyak orang. Namanya adalah Burhanuddin Jamal, mahasiswi semester 7 di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia ISDIK Maluku Utara. Ia memiliki nama pena Burja yang disarankan langsung oleh seorang Sastrawan, Syahrian M Khamry.
Dalam kurun setahun terakhir ini, putra berkelahiran Tidore, pada 02 Maret 2001 itu telah menulis 512 puisi, 7 esai 17 cerita pendek, dirangkum dengan tulisan-tulisan karya sastra lainnya. Pun 2 buku kumpulan cerita pendek, 3 buku kumpulan puisi bersama teman-teman di berbagai wadah literasi, dan 2 buku punya sendiri, kumpulan-kumpulan puisi kontemporer dan puisi-puisi pendek berjenis lima baris.
Motivasinya memulai menulis bermula dari bangku sekolah dasar, tepatnya saat melihat buku-buku hasil koleksi bapaknya yang tersedia banyak di rumah. Kalah itu setiap membuka buku-buku, ia selalu punya pemikiran namanya pasti akan lebih bermanfaat bagi pembaca, jika tertulis sebagai pemilik dari sebuah karya. Keinginannya menulis semakin kuat saat itu guru Bahasa Indonesia memberikan sebuah tugas membaca puisi, kemudian menuliskan ulang puisi tersebut semirip mungkin. Burhanuddin yang merah putih tempo itu riang gembira sebab mendapat nilai tertinggi kedua sehingga merasa perlahan berkembang dalam dunia menulis.
Hal itu berlanjut di bangku sekolah menengah pertama. Burhanuddin mulai mengarang cerita di buku diary pemberian ibunya konon, hadia ulang tahun yang sangat berarti baginya, adalah buku diary dari ibu. Melihat teman-teman suka membacanya, bahkan sampai ada naskah ceritanya yang hilang karena diambil teman, semangat menulis pun makin terpatah-patah.
Namun, ada alasan unik di balik kesenangan Burhanuddin dalam menulis. Putra berketurunan Tidore Buton ini kurang suka berbicara di depan umum, bahkan merasa tak memiliki kemampuan menyampaikan argumen secara langsung. Kondisi itu terjadi karena Burhanuddin tidak menyukai perhatian publik. Ada gangguan panik yang bisa menyerangnya kapan saja jika memaksakan diri untuk tampil bicara di depan publik. Baik itu dalam pertemuan besar, maupun kecil.
Jadi, ketika ada sesuatu yang ingin disampaikan, Burhanuddin lebih nyaman merasa lebih baik menyampaikannya melalui tulisan. Alasan kuat itu, hingga sampai saat ini, belum ada keinginannya untuk berhenti menulis. Semakin hari, semakin banyak yang ingin dia sampaikan melalui penanya kepada khalayak. Apalagi Burhanuddin tipe penulis yang mudah berbagi waktu dengan menulis, tapi ia tak ingin menyimpannya untuk dirinya sendiri.
Kemampuan Burhanuddin dalam menulis dianggapnya sebagai kekuatan terbesar hidup karena bisa menyampaikan apa saja, termasuk kritik sosial, melalui tulisan berbalut fiksi, seperti dalam buku terbarunya Sehimpun Simaris.
Baginya, sesibuk apa pun kegiatan sekarang, menulis adalah bagian dari kehidupan. Jika bagi orang lain menulis adalah pekerjaan sampingan, Burhanuddin menganggapnya sebagai kebutuhan. Tiada hari tanpa ia menarikan jemari di atas kibord latopnya. Mau berapa ratus kata atau ribuan, ia tetap menyisihkan waktu untuk menulis.
Burhanuddin juga tak kikir berbagai ilmu menulis, setiap yang datang ia selalu memberi serapan hangat, membagi tips kepada siapa saja yang ingin memulai karier sebagai penulis.
Pertama, tidak boleh memandang tulisannya jelek. Siapa pun itu, mau penulis besar, terkenal di mana-mana, akan selalu merasa tulisannya tidak bagus. Penilaian bagus atau tidak sebuah tulisan berada di tangan pembaca, bukan penulis. Walaupun pemula tetap harus memandang tulisan itu bagus.
Kedua, tak perlu berpikir bahwa menulis harus memakai laptop. Menulis bisa saja menggunakan handphone. Handphone zaman sekarang sudah bisa menampung aplikasi dokumen seperti Word atau WPS, jadi menulis pun menjadi lebih mudah karena bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja. Hanum sendiri sering menulis menggunakan handphone karena merasa lebih nyaman.
Ketiga, seberapa keren ide sebuah tulisan tidak dinilai dari lama atau tidaknya dipikirkan oleh seorang penulis. Tulis saja apa yang ada di sekitar. Menemukan orang-orang berkepribadian unik, mengenakan gaya pakaian bertolak belakang dengan orang lain, dan menyaksikan sebuah peristiwa seperti kecelakaan, itu bisa dijadikan topik utama sebuah tulisan. Tidak perlu berpikir terlalu jauh. Lihat dulu apa yang ada di sekeliling kita.
Kata kunci menjadi seorang penulis ialah tidak pernah berhenti mencoba dan tidak menolak kritik ataupun saran dari pembaca. Pasti ada komentar baik dan diiringi oleh komentar buruk. Hal baik harus diambil, yang buruk-buruk bisa dilupakan.
Ada banyak penulis pemula yang berhenti menulis karena mengalami fenomena kondisi di mana kejiwaannya terguncang akibat serangan komentar bernada miring dari pembaca.
Selama hampir empat tahun menekuni dunia kepenulisan, Burhanuddin sendiri berharap ada banyak sekali pemuda-pemuda di daerahnya yang tertarik dengan literasi. Baik itu dari segi membaca, maupun menulis. Sehingga semakin terekspos sebagai daerah yang berbudaya literatur.
Ada banyak manfaat menulis. Selain memiliki karya, menulis merupakan media berbicara. Bahkan bisa dijadikan sebagai media peranh. Oleh karena itu, Burhanuddin juga bermimpi memimpikan ada banyak penulis muda lahir dari daerahnya.
Ia juga berharap pemerintah harus menaruh perhatian lebih kepada mereka yang memiliki kemampuan lebih di bidang literasi. Tujuannya, supaya makin banyak sastrawan muda yang terpacu semangatnya dalam berkarya dan memublikasikan tulisannya. (*)
Oleh : Muhammad Fadli
(Ketua Literasi Kembara Online)
Discussion about this post