TERNATE,MS — Fenomena cuaca ekstrim dan deforestasi (penggundulan hutan) mengancam wilayah Maluku Utara (Malut) beberapa hari aktif belakangan. Ini menjadi catatan Perwakilan Kementerian Keuangan di Malut dalam rilis resmi yang diterima media ini pada Rabu, (1/1/2025)
Disampaikan tema Local Issue (isu lokal) yang diangkat adalah fenomena cuaca ekstrem dan deforestasi di Maluku Utara. Dimana dengan kondisi geografis yang terletak di zona cincin api pasifik dan suhu udara yang diproyeksikan terus meningkat, terjadi peningkatan frekuensi kejadian bencana alam di Maluku Utara sepanjang tahun 2018 hingga 2023, khususnya banjir dan cuaca ekstrem.
“Tren curah hujan yang tinggi berdampak pada penundaan panen pada beberapa komoditas tanaman sehingga harga komoditas naik, seperti beras, cabai, bawang merah, bawang putih, dan lain-lain,” ucap Kepala Kanwil DJPb Provinsi Maluku Utara yang diwakili oleh Kepala Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II, Muhammad Priandi.
Selain itu, sambung Priandi, fenomena deforestasi akibat aktivitas pertambangan terus terjadi dimana Maluku Utara telah kehilangan tutupan pohon sebanyak 258,9 ribu Hektar dalam kurun waktu 2021-2023. Sebagian besar tutupan pohon hilang akibat alih fungsi lahan dari hutan dan pertanian menjadi area pertambangan dan pemukiman.
Menurutnya deforestasi ini berkontribusi pada pemanasan global sehingga menyebabkan peningkatan konsenrtasi gas rumah kaca yang menyebabkan kenaikan suhu udara global. Dampak dari fenomena deforestasi antara lain perubahan iklim akibat peningkatan pelepasan emisi karbon, kerusakan ekosistem, peningkatan suhu udara, dan penurunan sumber nafkah masyarakat akibat pencemaran lingkungan.
Terpisah Direktur WALHI Maluku Utara, Faizal Ratuela beberapa waktu lalu menyebutkan bahwa hilangnya tutupan hutan memperburuk kondisi lingkungan, meningkatkan risiko bencana alam seperti banjir dan tanah longsor.
Sehingga Faizal mendesak pemerintah untuk segera mengambil tindakan tegas guna menghentikan deforestasi dan mengatur aktivitas pertambangan dengan lebih ketat. Selain itu, penting untuk melakukan rehabilitasi hutan yang sudah rusak agar fungsi ekologisnya bisa kembali pulih.
“Tanpa langkah-langkah yang konkrit dan berkelanjutan, bencana serupa akan terus mengancam kehidupan masyarakat,”tegasnya
Faizal menjelaskan bahwa saat ini di Halmahera Tengah saja sudah terdapat 24 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan luas konsesi mencapai 37.952,74 hektar. Selain itu, terdapat konsesi pertambangan nikel milik PT Weda Bay Nikel di kawasan industri Nikel PT IWIP seluas 45.065 hektar. Akibat dari kegiatan pertambangan ini, ekosistem hutan tidak lagi berfungsi optimal dalam menahan laju air.
“Saat hujan dengan intensitas tinggi, air yang bercampur dengan tanah dan material logam mengalir dengan cepat ke wilayah dataran rendah dan pesisir, menyebabkan banjir yang parah,”cecarnya menutup. (Umam)
Discussion about this post