TERNATE,Mediasemut.com – Aroma momentum politik sudah tercium setelah KPU mengumumkan hasil rekapitulasi Verifikasi Faktual (Verfak) sekaligus menetapkan 17 partai politik lolos sebagai peserta pemilu 2024 pada Rabu (14/12) akhir tahun kemarin.
Dari tahun ke tahun saat momentum politik itu dihelat selalu saja ada isu politik identitas yang terus dimainkan. Pasalnya, isu politik identitas itu akan baik apabila memiliki gagasan dan nilai positif, namun lain hal jika dijalankan dengan cara-cara kotor.
Dosen Sosiologi Muhammadiyah Maluku Utara, Yahya Alhaddad menuturkan, politik identitas kalau di framing ke diri itu semuanya pasti mati. Mati yang kemudian dibangkitkan menjadi satu identitas.
Misalnya, Sultan Babullah, itu satu identitas kematian yang dibangkitkan ulang sebagai orang Ternate. “Itu yang dinamakan politik identitas,”kata Yahya kepada media ini, Selasa (03/01).
Yahya bilang, politik identitas itu sebenarnya sangat ideologis. Politik identitas itu muncul karena dimainkan oleh kelompok-kelompok minoritas. Sebab, kelompok ini yang sering dianggap dizalimi oleh kelompok yang mayoritas.
Pada akhirnya mendorong isu-isu politik identitas itu sebagai khas diri untuk memperjuangkan satu kepentingan. Politik identitas itu ada karena atas kegagalan kekuasan.
“Network itu akan hilang. Apa network? Jaringan, orang itu akan putus. Dia tidak ada lagi trust (kepercayaan), orang tidak ada percaya lagi terhadap negara, maka membangun dengan mode baru,” ungkapnya.
Indonesia itu sebenarnya kegagalan fatal, maraknya politik identitas itu karena negara gagal untuk membangun masyarakatnya. Kenapa politik identitas itu selalu diteriakkan? ada distraf masyarakat dengan penyelenggara pemilu.
Selian itu, peserta pemilu, orang yang bertarung itu memiliki visi, misi dan narasi serta gagasan untuk melahirkan politik identitas. Sebenarnya politik identitas itu punya gerakan yang baik untuk mencapai tujuan.
Hanya saja diperalat dan mainkan salah. Politik identitas hadir sebagai narasi resistance (perlawanan) kelompok terpinggirkan akibat kegagalan narasi arus utama mengakomodir kepentingan minoritas secara positif, politik identitas menghadirkan wahana mediasi penyuaraan aspirasi bagi yang tertindas.
“Sebagian besar masyarakat itu sudah tidak lagi percaya dengan kekuasan. Misalnya, Ada orang yang membangun kelompok anti sampah untuk membersihkan kota tanpa harus melibatkan kekuasaan. Ini yang dinamakan gerakan orang-orang kalah memprotes kekuasan tanpa melibatkan kekuasan,” paparnya.
Selanjutnya, identitas dan kuasa, munculnya hal ini disebabkan pertentangan kelompok antara minoritas dan mayoritas. Baik itu suku, agama ras dan lainnya. Setiap momentum pilkada ada isu pribumi dan non-pribumi.
Jadi ada orang-orang yang tidak memiliki kekuatan yang besar tetapi memiliki kapital (modal) untuk memainkan isu politik identitas. Hampir rata-rata yang memainkan politik identitas itu dimodali tanpa lahir dengan gagasan atau nilai-nilai positif.
“Kalau lahir dengan gagasan dan nilai itu pasti tidak akan mungkin sevulgar yang dilakukan,” katanya.(ham)
Reporter : Ham
Editor : Aws
Discussion about this post