MEDIASEMUT.COM — Hujan masih terus membasahi wajah kota mungil ini, Ternate. Membasahi berhari-hari, bahkan hampir berminggu-minggu. Walau jalannan basah dan licin, langkah kaki para petani tak terhenti. Mereka terus melangkah. Semua baik-baik saja. Semua berjalan normal. Radit memanggil teman-teman mandi hujan selepas pulang sekolah.
“Vino, Alen, ayo kita main mobil-mobilan. Hujan begini pasti seru.” Seru Radit.
Mendengar ajakan sahabat mereka yang tak lain adalah Radit, Vino dan Alen langsung menerobos curah hujan yang begitu lebat. Mereka bermain dengan gembira. Potongan-potongan kayu di pasangi paku, dan mereka jadikan itu mainan mereka. Tawa riang terlihat jelas, saat Vino berhasil memenangkan lomba balapan. Tak ada rasa kecewa bagi yang kala, hanya ada saling memuji antar satu dengan yang lain. Gemuru langit perlahan-lahan terdengar. Curah hujan kian lebat di sertai angin yang cuku kencang.
“Vino.. Pulang!” Seru ibunya Vino dari kejauhan.
“Iyo, mama.”
Melihat ibu Vino datang, Radit dan Valen juga ikut pulang serta diikutkan menghentikan permainan mereka.
“Ngoni pulang. Tara tako ujang kuat ini.” Perintah ibu Valen.
“Iya, Bibi. Tong mo pulang ini.
Tiga langkah anak kecil meninggalkan jejak meraka di balik genangan air. Langit masih kelabu. Angin laut berembus, membawa bisikan kepada pohon, batu, dan sungai. Suana kampung kembali sunyi. Semua sedang menatap dari balik jendelah berharap hujan cepat redah. Jendela yang sudah beberapa hari ini masih saja lembab, sebab matahari belum datang membasuhnya dengan kehangatan. Daun kelapa masih saja enggan menatap langit, ia sedari kemarin merunduk bisu. Dia ikut bergerak saat tertiup angin laut. Radit mentap ke luar jendelah, dia melihat pohon-pohon masih tertutup hujan. Ia menarik nafas dalam-dalam lalu duduk kembali di meja belajarnya.
BACA JUGA : “Sungai, Gunung, Hujan dan Sentuhan Tuhan”
“Ibu,” serunya.
“Iya, Nak. Ada apa?” Sahut ibunya.
Dengan ragu-ragu Radit menjawab. “Besok saya belum ingin ke sekolah,” ujarnya seraya duduk di atas pangkuan ibunya.
“Kenapa kamu tidak ke sekolah besok?” Wanita tiga puluh tahun itu bertanya.
“Tidak. Besok teman-temanku banyak yang tidak masuk.” Radit menyampaikan alasannya.
“Kenapa harus begitu?”
“Radit tidak ada teman di sekolah besok, karna besok tak ada yang masuk,” jelas Radit.
“Tidak boleh. Besok kamu harus ke sekolah.”
Mendengar itu, Radit hanya terdiam patuh. “Baik, Ibu. Besok Radit akan masuk sekolah.”
Tak lama kemudian, anak kecil itu sudah tertidur nyenyak di atas pangkuannya ibunya. Ibunya mengelus-ngelus kepala putra semata wayangnya yang sedari tadi menahan kantuk, dan akhirnya tertidur juga. Sang ibu langsung membaringkan anak kesayangan mereka di kamar dan kembali melanjutkan perkerjaannya di dapur. Dia menyalakan api dan merebus air. Ayah Radit sebentar lagi akan kembali, sehingga harus disiapkan air panas untuk mandi. Cuaca kali ini, tak memungkinkan untuk mandi air dingin. Di balik cela pintu, terlihat anak-anak kambing kedinginan, begitu juga dengan sapi yang sedang berteduh di bawah pohon kelapa. Suana sore seakan sepi tak betuan. Sepi sekali.
Pagi datang seakan begitu cepat, padahal baru saja menutup mata. Rati, yang tak lain ibu Radit terbagun dari tidurnya saat mendengar Jul suaminya mengetuk pintu. Jul berkerja di salah satu cabang perusahan pemerintah dan sering bertugas di malam hari, sehingga sering pulang pagi. Rati meninggalkan tempat tidur dan menyiapkan sarapan pagi meraka. Suana masih hening, sebab waktu masih menunjukan pukul lima. Melihat masih pukul lima, Rati belum ingin membangunkan Radit anaknya. Ia tahu, anaknya pasti masih pulas.
“Radit belum bangun?” Tanya Jul
“Belum. Habis masak baru saya bangunkan,” jawab Rati.
Segelas susu hangat telah terdia di meja. Jul mengambilnya dan langsung menyeruput. Selepas menyeruput, ditaruhnya gelas itu di tempat semulah. Jul menatap dalam-dalam mata istrinya sambil tersenyum.
“Kamu adalah ibu terbaik bagi anak kita,” Jul memuji istrinya yang sedang mengupas telur.
“Ah, kamu.” Rati tersipu.
Lamat-lamat, satu persatu suara motor mulai terdengar, pertanda waktu berkerja sebentar lagi dimulai. Di luar jendela, tanah masih sangat lembab. Pohon-pohon terlihat begitu kokoh. Ayam berkokok bersahut-sahutan. Namun, di luar masih sangat dingin. Jul bercerita tentang rekan kerjanya yang tak berani mengungkapakan perasaan kepada seorang wanita yang dicintainya. Rati tertawa kecil saat mendengar cerita itu. “Sudah dulu ceritanya. Ayo makan.”
Cerita subuh selasai, waktunya menjeput sinar mentari yang masih malu-malu di balik bukit. Radit siap berangkat ke sekolah. Letak sekolah tidak begitu jauh dari rumah, sehingga Radit lebih sering berjalan kaki ke sekolah. Pagi yang tak berkabut, tapi dinginnya masih sangat terasa. Dari kejauhan, sekolah sudah sangat ramai.
Di depan pagar pintu sekolah, telah berdiri kepala sekolah menyambut anak didiknya. Dengan senyum ramah, kepala sekola menyapa setiap anak yang masuk. Begitu juga tangan kepala sekola dicium dengan sopan.
“Selamat pagi, Bunda.” Sapa Radit.
“Selamat juga, Radit,” ibu kepala sekolah kembali menyapa. Anak-anak lebih senang memanggil bunda dibandingkan dengan ibu, sehingga sudah menjadi kebiasan di sekolah mereka.
Di rumah, Rati dan Jul sedang sibuk menyiapkan barang bawaan mereka, karena besok pagi mereka harus ke luar kota untuk menyelesaikan beberapa tugas yang ada yang di sana. Setelah semua selesai, Jul mengajak istri menemui ibunya sekalian pamit. Rencananya sebentar malam baru sekalian, tapi Jul masih ada beberapa urusan malam nanti sehingga mereka memtuskan untuk pamit lebih dulu.
BACA JUGA : PILGUB DAN MASAH DEPAN PEREKONOMIAN MALUKU UTARA
Perjalan ke ruma ibu tidak begitu jauh, sehingga tak butuh waktu lama motor sudah terpakir di depan rumah. Di sana, terlihat wanita paruh bayah sedang sibuk membersihkan taman.
“Selamat siang, Mah.” Salam Jul bersamaan dengan Rati istirnya.
“Itukah kau Jul?”
“Betul, Mah. Ini saya.”
Melihat anak semata wayanya datang, wanita paruh bayah itu langsung menyuruh mereka masuk. Di dalam, Rati sedang sibuk menyiapkan makan siang mereka. Sedang Jul, sedang ngobrol dengan wanita yang begitu ia sayangi. Walau sudah tua, ibunya masih sangat aktif beraktifitas, sehingga tidak terlihat begitu sehat. Ibunya berpesan agar mereka berhati-hati dalam perjalanan. Tak lupa juga, Jul menitip anak mereka Radit pada ibunya. Dengan senang hati ibunya mengiayakan.
Selepas makan siang, Jul dan Rati langsung pulang, karna di rumah pasti Radit sudah pulang. Betul, sesampainya mereka di rumah, Radit sedang duduk di depan pintu menunggu kedatangan mereka. Belum juga turun dari motor, Radit langsung memeluk ayahnya. Rati langsung masuk. Radit bercerita, di sekolah tadi, dirinya membaca sebuh dongeng yang bagus sekali. Dia menceritakan isi cerita kembali. Jul tersenyum bangga karna anaknya suka membaca.
Malam sudah tiba. Radit sudah di rumah neneknya. Seperti biasa saat di rumah nenek, Radit sangat dimaja. Radit sangat bahagia jika berada di ruma neneknya. Bangunan dua lantai bercat putih dengan model klasik. Terlihat begitu tenang. Tak seperti rumah mereka yang dekat jalan raya sehingga sangat bising dengan bunyi kendaraan yang lalu lalang. Radit sudah sering menginap di rumah nenek, sehingga saat dia dititipkan ke ruma ini, dia pasti sangat bahagia.
Malam kembali kembali tenang, dan tiba saat semua mengisi daya yang terkuras dengan aktfitas seharian. Tak ada gemuru di langit, hanya curah hujan hujan deras sepanjang malam. Orang-orang masih berbaring dan berselimut di pembaringan dengan nyeyak. Tak ada yang tahu, ada genangan air yang sebentar lagi akan pecah dan menurunkan bebatuan besar menghacurkan rumah mereka. Tepat bulan Agustus, saat semua masih merayakan hari kemerdekaan. Suara isak tangis terdengar sayup-sayup di subuh itu. Takut. Menjerit. Subuh menjadi bisu, saat rumah sudah hancur. Batu-batu bergelinding mengikuti laju arus menghacurkan satu persatu harta dan nyawa.
Sirine mobil jenaza tak henti-henti. Agustus menutup ceritanya amat mengerikan, terlihat langit beberapa hari ikut beduka. Tak ada lagi pelangi sehabis hujan, apalagi bulan di malam hari. Semua tergantikan dengan kelamnya peristiwa di waktu subuh. Curah hujan menjelma runtuhan batu dan lumpur.
Selang beberpa hari kejadian, satu persatu korban mulai ditemukan. Di kejauhan, Radit melihat rumahnya yang sudah hancur, bahkan hampir lupa letak rumahnya berada. Di atas lumpur dan batu, Radit berdiri sepanjang hari menunggu proses pencarian ibu dan ayahnya yang beberapa hari ini belum juga ditemukan. Radit merindukan kedua orang tuanya. Sepanjang hari dia tetap bediri berharap ibu dan ayahnya kembali.
“Ibu. Ayah. Radit takut.” Suana semakin hening. Selama ini Ayah melarang Radit menangis, tapi kali ini dia menangis di pangkuan neneknya. Sejak saat itu, Radit lebih sering ke lokasi kejadian dan duduk tepat di depan rumahnya yang telah ditutupi lumpur dan batu. Di sana, dia hanya terdiam sepanjang hari sambil mengenang masa bersama ayah dan ibunya. (*)
Oleh : Apdoni Tukang
(Mahasiswa Sastra Indonesia Unkhair)
**) Ikuti berita terbaru Mediasemut.com di Google News klik link ini dan jangan lupa Follow
Discussion about this post