Oleh: Lasurdin L. Madelis
“Anggota Komunitas Parlemen Jalanan Maluku Utara (KPJ-MU)”
Pendidikan seyogyanya mendewasakan pikiran manusia. Pengertian ini selaras dengan yang dikemukakan salah satu tokoh pendidikan dari Brazil, Paulo Freire (1921-1997) pendidikan sejatinya memanusiakan manusia. Mengutip buah pikiran sang punggawa Timur Tengah, Imam Al-Ghazali, ia berpendapat bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampai akhir hayat melalui berbagai ilmu pengetahuan.
Menurut Undang-Undang 1945 alinea ke 4, pendidikan adalah membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Sementara menurut tokoh pendidikan nasional dan peletak fondasi pendidikan Indonesia (Ki Hajar Dewantara) pendidikan adalah upaya untuk memajukan bertumbuhnya pendidikan budi pekerti (kekuatan batin dan karakter), pikiran, serta tubuh anak. Selain itu, Ki Hajar Dewantara juga menciptakan trilogi yang menjadi tiga hal ampuh dalam pelaksanaan pendidikan Trilogi tersebut ialah Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Ngarso Mangun Karso dan Tut Wuri Handayani.
Ing Ngarso Sung Tulodo artinya yang di depan memberi teladan. Dalam hal ini, peranan guru sangat besar dalam memberi teladan kepada para peserta didiknya. Istilah atau pepatah guru kencing berdiri, murid kencing berlari sangat mungkin untuk terjadi. Oleh karenanya, teladan guru harus senantiasa ditunjukkan kapan saja dan di mana saja.
Ing Ngarso Mangun Karso artinya yang di tengah membangun keinginan. Dalam hal ini, pemberian motivasi dan memposiskan dirinya seorang guru sehingga dapat menjadi teman dan juga tempat peserta didiknya berangkat untuk berkembang menuju cita-citanya.
Tut Wuri Handayani yang artinya dari belakang memberi dorongan. Hal ini berarti guru harus selalu mendorong peserta didiknya dalam mengembangkan bakat dan minat sesuai dengan yang dikehendaki.
Dari beberapa batasan di atas, tentu kita sudah dapat memahami inti sari dari pendidikan, ialah untuk menumbuhkan moralitas pelajar agar toleransi dan hunungan sosial di mana saja bisa terbangun dan terpelihara.
Sebagai pemerhati, saya begitu tergetar dengan situasi dan kondisi pendidikan di Morotai sebab telah bergeser dari konsensus ketetapan kebijakan dalam dunia pendidikan maupun tujuan dan hakikat pendidikan. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya kasus pencabulan yang dilakukan oleh tenaga pengajar (guru) terhadap muridnya.
Presentasi pendidikan di Morotai mengenai sekolah unggulan, bagi saya hanya omong kosong belaka karena bangunan atau sarana dan prasarana sejauh ini tidak mampu menepis persoalan kasus pencabulan dan ironisnya, beberapa pelaku tidak disidang kode etik, tapi malah diberikan posisi strategis (kasubag) dan sebagian dikembalikan ke ruang kelas untuk kembali mengajar.
Berdasarkan informasi faktual yang berhasil saya rangkul, dua tahun terakhir sejak tahun 2021 hingga 2022 Kejari Morotai telah menerima 18 kasus pencabulan dan kurang lebih 10 kasus itu terjadi di sekolah, yaitu guru mencabuli muridnya sendiri. Hal ini dapat dilihat dalam pemberitaan, selama tahun 2022 Polres Morotai telah menerima dan menangani 9 kasus pencabulan. Ini artinya, prinsip pendidikan yang mengacu pada kecerdasan dan kedewasaan telah terkabiri oleh lalainya sistem yang ada.
Selama dua tahun terakhir, sungguh berkecamuk kasus pencabulan di Pulau Morotai hingga menjadi wacana hangat di mulut publik. Entah, apakah ini disebabkan oleh pengaruh zaman teknologi yang semakin tak terkendali dan minimnya pemahaman nilai-nilai agama, ataukah lemahnya hukum sehingga kasus ini terus bermunculan? Pantas tidak, pendidikan di Morotai kita sebut “Bercorak Amoralis’?
Amoralis sesuai terminologinya, adalah krisis moral, atau perihal moral seakan termarginalkan. Padahal, moralitas seseoarang harusnya dibangun atau dibentuk lewat pendidikan. Sebagaiman kata sang lokomotif Filsafat Klasik, Plato moralnya ialah cinta, kebijaksanaan, jujur, serta sikap tahu diri. Hal ini yang seharusnya menjadi barometer dalam lambung pendidikan.
Selain masalah pencabulan, ada juga masalah mengenai roda kebijakan yang terkesan pasang surut, atau naik-turun, kadang baik, kadang buruk. Masalah prasarana misalnya, sekolah yang berada di desa-desa ditutup, kemudian disatukan menjadi sekolah terpadu yang disulap menjadi sekolah unggulan. Padahal, endingnya juga banyak menguras anggaran daerah, dan bangunan sekolah lama yang masih bisa dipakai juga terbengkalai bahkan sebagian tidak dipakai hingga rusak.
Tak hanya persoalan bangunan yang carut-marut, sarana perlengkapan saat ini juga mulai bermasalah. Selain sarana belajar berbentuk buku cetak atau buku ajar yang sangat terbatas dan mulai mengurang, teknologi belajar pun tidak semua ada dan merata di seluruh sekolah unggulan yang tersebar di 6 kecamatan.
Selain sarana dan prasarana yang tidak merata dan berimbang, kualitas bangunan pun abal-abal sehingga muda amruk, bahkan ada yang lingkungannya tidak terurus hingga terkepung rumput, seperti di Morotai Utara dan Morotai Jaya.
Selain itu, dengan adanya sekolah unggulan sebab buruk yang harus ditanggung siswa adalah jarak tempuh yang semakin dan sangat jauh sehingga sulit dijangkau dan diakses. Akibatnya, siswa kadang terlambat masuk dan kadang juga tidak lagi ingin masuk sekolah karena takut dimarahi gurunya. Kondisi ini sungguh memperparah situasi pendidikan di Morotai.
Masalah di atas muncul dikarenakan penyediaan sarana transportasi angkutan siswa (Bus Sekolah) yang dulunya ada dan cukup lancar, akhir-akhir ini mulai terbengkalai. Di bagian pedesaan tidak lagi dioperasikan untuk mengangkut atau antar-jemput siswa, bahkan sekolah unggulan 1 yang terletak di Kota Daruba, Morotai Selatan pun tidak lagi difungsikan ful untuk antar-jemput siswa, sehingga setiap harinya siswa harus pergi naik bentor dan pulang banyak yang jalan kaki.
Siswa yang setiap harinya pulang jalan kaki di Kota Daruba, sering saya jumpai mereka di jalan dan mengajak mereka bercerita sembari saya wawancarai. Banyak keluh kesah yang mereka beberkan dan masalah tersebut sudah diberitakan, sudah dikonfirmasi kepada pihat terkait dan menuai respon baik, tetapi endingnya tetap sama. Tidak ada tindak lanjut.
Hemat saya, pendidikan di Morotai dengan adanya sekolah unggulan tidak menjadi solusi apabila fokus pemerintah lebih cenderung dan memprioritaskan kebijakannya pada program lain. Ini bukan berarti bahwa pendidikan harus dinomorsatukan, melainkan membangun bangsa perlu dengan asa-asas Pancasila dan pendidikan yang demokratis dan berkualitas. Kita bisa belajar dari Jepang, pasca dibombardir Amerika, lewat pendidikan, mereka bangkit begitu cepat.
Pendidikan yang berkualitas akan melairkan generasi yang cerdas dan manusia-manusia yang unggul. Bukan sekolah yang mewah dan megah.(LLM)
Tuntunlah ilmu dengan cinta dan kebijaksanaan, bukan dengan harta.
Morotai, 2023.
Discussion about this post