Oleh : Sirli Saputri Habib Abdurachman
Mahasiwa Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia Universitas Khairun Ternate”
Malam yang hening, ketika bias-bias tamparan hidup mulai mengiasi dan berkecamuk perlahan, saat itu, pikirku memberontah segala problema bermain riang dikepala, kamar menjadi satu satunya hentakan nafas panjang dan rintik air mata tercurah. Tiba-tiba hpku berdering menandakan satu panggilan masuk dari seseorang.
Hallo…?
Iyaaa.
Seketika ia menarik nafas, dan mendengar dentuman tangisan kecil yang berusaha ia perbaiki agar tak dikenali.
Kamu kenapa ? Belum makan ? Atau Maagmu kambuh ?……..
(Tanyanya dijejaring pesan yang ia kirimkan setelah mendengar ada hal yang tak mesti ia ketahui tapi rasa penasaran itu mulai mengeroggotinya )
Drama koreaku sudah tamat…………balasan pesanku untuk menandakan semuanya baik-baik saja.
Bukan satu hal yang mudah, untuk bercerita tentang kerasnya hidup, pertikaian dan kehampaan mecoba masuk disela-sela riang dan berharap tenang, mengapa ? Ada sosok yang mencoba menanyaiku ? Mengapa tak biarkan saja sesak dada ini menghatuiku tiap malamnya. Biarkan nestapa suram dan tak lagi bercahaya itu tak temukan peliknya, biarkan segerombolan trauma yang menghujani hari-hariku, biarkan, biarkan saja aku hidup dengan kehancuran.
Tunggu selepas mandi, aku kesana…….pesan itu mulai lagi merinaikan percakapan.
Aku selalu menutupi aku yang tak lagi teduh, tak lagi ceria dan tak lagi manja, sebab jika kau tau betapa hancur dan terpuruknya aku, mungkin dahulu kau tak lagi menginginkan sepenggal cerita kita dimulai bahkan bertemupun kau jijik.
Aku berusaha mencengahnya agar setelah malam ini aku akan baik-baik saja. Lama-lama kita sedemikian makin dekat, saling tukar aktivitas lewat telepon, media sosial dan mulai terbuka walaupun secuil, tapi bukan berarti kita sepasang kekasih. Entahlah, hanya sebatas menjadi teman aksara mungkin.
Selepas setelah seminggu berlalu, kita dipertemukan tuhan di ruang paling khidmat untuk saling tukar cerita, tentang pertama kali ia menulis, tentang buku perempuan yang ia hidangkan untukku tentang apa-apa yang elok diperbincangkan, sebab kita hanya sefrekuensi perihal menulis, selebihnya masih dalam tanda yang tak kunjung mencari pasti,
Kutatap ia lamat-lamat, apakah bisa aku mencintainya setulus dan sesabar masalaluku ?,
Aku tak henti-hentinya bergumam dalam hati, sebab luka yang tak lekas sembuh itu masih membekas perih menikam di kedalaman sanubari, Apakah bisa ia menjadi satu-satunya pencuri yang menyelinap perlahan untuk membantuku meraih cahaya ? Pertanyaan-pertanyaan itu mulai menghantuiku selepas temu yang beradu tatap meski tak lama.
Sebut saja dia Agha, laki-laki yang terpaut lebih tua berkisar tak jauh denganku, laki-laki yang dengan segala idenya mampu menulis secerca bahkan puluhan tulisan. yang menuju pada rumah-rumah penerbit untuk menjadikan karya yang abdi dan abadi. Jujur, aku sedikit kagum padanya, mula-mula kira ini hanya sebatas rasa hormat, padahal, jika ditelisik kembali dengan seksama rasa kagum itu menyapa dadaku yang sedikit belepotan perihal kesuramanya falguni, ia aku adalah falguni, perempuan yang selalu suram dan tak bisa menerka tentang kerasnya hidup, sampai-sampai segala yang tersimpan di lemariku adalah catatan-catatan kecil tentang aduanku terhadap kehidupan yang tak memberikan kehangatan dan semanis cinta yang dahulu kudapati diawal, sekarang itu hanya fatamorgana yang mecoba meraba-raba kisah.
Apakah bisa kau memahami segalaku ?……..
Sedangkan hidupku hanya kebisingan yang bengis yang berlalu lalang dan tak berhentinya menakutiku di telingga, apakah kau bisa menjadi peneduh cemasku ?, apakah kau bisa menjadi bagian paling subtansi dari kesemuanya itu ?……hatiku tak henti-hentinya meringgis.
Aku bahkan tak kenal kau agha, tentang bagaimana kehidupanmu, tentang seberapa sesak masa lampau dan kini, begitupulah aku, jangan sampai kita hanya sebatas teman aksara yang tak saling menukar rasa dan cerita. Hingga berakhir sepasang teman yang tak lagi membagi proses. Dan jatuh di jurang yang kita ciptakan sendiri. Aku mau kau tetap progres dengan segala yang kau dambakan tanpa melibatkan perempuan malang yang bisa saja merusak segala yang kau bangun dengan penuh perjuangan. Aku hanya Falguni yang tak lepas lepasnya dari tirani masa lampau yang tak memberiku sesosok kamu, kamu adalah hal baru bagiku, maka biarlah kau terus baru dan tekun mencintai sastra, biarkan aku sendiri dengan asap dupa yang seseorang itu menanamkan benihnya padaku.”**
Discussion about this post