MEDIASEMUT.COM – Berbicara mengenai perempuan banyak sekali tantangan dan keganjalan-keganjalan yang menimpa kaum perempuan baik dalam aspek pendidikan, ekonomi, pengetahuan dan juga politik, tidak bisa kita pungkiri terhadap kultural masyarakat yang diterapkan dan dijadikan sebagai hal fitrah atau lumrah yang dilekatkan dalam diri perempuan.
Sebenarnya kita tidak menyalahkan oknum-oknum yang mencengkrami perempuan hanya seputaran ranah domestic saja, sebab urgensi dari perempuan adalah haknya dalam mengambil peran, fungsi dan tanggung jawab sebagai manusia yang diberikan kecintaan oleh maha kuasa yakni pola pikirnya. Tapi, harus diselaraskan dengan kewajibannya sebagai perempuan.
Untuk itu saya beranggapan bahwasanya kaidah yang terjalin pada manusia dalam memanusiakan manusia lainnya adalah dengan tidak menutup ruang produktif perempuan. Dan tidak merasa tersaingi apalagi terbebani jikalau perempuan menduduki singasana politik kekuasaan.
Mengenai hal ini perlu memikirkan konsekuensi apa yang akan diemban oleh perempuan. Dan sebenarnya saya selaku pribadi tidak merasa di dikriminasi atau dieksploitasi akan hal ini, sebab kita hanya butuh kesepakatan dan keberanian untuk terjun bebas dalam dunia politik itu sendiri.
Jikalau politik hanya diberikan 30% saja bagi perempuan, itu juga tidak komprehensif bagi perempuan untuk lebih jelih melihat kondisi social yang terjadi di ruang-ruang ilmiah lainnya. Banyak sekali kecenderungan perempuan meminta harus disamaratakan atau tidak boleh dilepaspisahkan mengenai hal ini pada laki-laki dan perempuan yang katanya seharusnya adalah 50-50. Tapi sebelumnya kita mesti lihat sumber daya manusia di kalangan perempuan apakah mereka sudah cukup kesadaran atau memadai terhadap 30% itu atau belum?
Makanya perlu ada bimbingan-bimbingan tertentu sehingga perempuan mempunyai kecakapan dan kapasitas yang unggul, dalam hal ini persaingan antara laki-laki dan perempuan jikalau disangkutpautkan dalam kesetaraan ini justru pincang pemahaman.
Sebab, peradaban perempuan diukur oleh politik demikian pula bagi laki-laki. Politik tidak memerkarakan soal gender tetapi kecakapan manusia dalam mengemban tugas dan tanggung jawabnya.
Interpretasi persoalan ini perlu dicemaskan kembali, karena saya justru mengakui bahwasanya ketika masuk dan duduk di dunia perkuliahan laki-laki cenderung lebih memilik peran didalam ruang-ruang progresifnya. sedangkan perempuan hanya sebagian dari keseluruhan perempuan yang tercakup didalam Indonesia, atau lebih spesifiknya Maluku utara itu sendiri. Tetapi kalau kita lihat sejarah kebelakang di masa bangku sekolah entah SD, SMP dan SMA perempuan menduduki peringkat-peringkat lebih tinggi ketimbang laki-laki. Ini seharusnya membuka cakrawala berpikirnya perempuan sehingga tidak melulu melabeli dirinya terus dikekang, tapi coba untuk keluar dari zona nyaman dan terjun bersama kemasifan rasionalitas.
Dunia ini tidak melulu soal laki-laki. Ada warna warni didalamya. Termasuk perempuan. Jadi, untuk seluruh perempuan dimuka bumi ini. jangan pernah takut mengambil keputusan berada dalam lingkungan politik, jangan jadikan kiprah perempuan dalam berpolitik sebagai satu sandaran yang tabu. sebelum itu, kita mesti merawat nalar dan kemanusiaan. Ketentuan-ketentuan itu lahir dari diri kita sendiri, biarkan perspektif orang lain menjalari seisi kepalanya, kita hanya berhak menentukan arah kemana masa depan kita berlaju, berkembanglah untuk diri sendiri dan orang disekitarmu, agar tidak selalu berpatokan pada keresahan-kerasahan yang dibaluti didalam pola pikirmu, tapi tidak dibarengi dengan pola laku dan tindakmu. Raihlah kebebasan berpolitik sebagaimana kau dilahirkan sebagai manusia dan ibu peradaban.
OLEH : Sirli Saputri Habib Abdurachman
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Universitas Khairun Ternate.
Discussion about this post