Mediasemut.com – Perampasan dan pembabatan hutan dan tanah kian hari kian menjadi-jadi. Kerusakan hutan, tercemarnya laut, hingga hilangnya ruang hidup petani, nelayan, dan makhluk hidup lainnya hanya menjadi tontonan semata bagi mereka para pemangku. Hak-hak yang sedari tahun ke tahun menjadi tempat sekaligus ruang pemanfaatan pemenuhan ekonomi dan kebutuhan kini telah redup tinggal jejak dan bekas dari garukan cakar eksavator.
Masyarakat kehilangan segala ruang penghidupannya, laut yang menjadi tempat pelayaran dalam mencari dan menangkap berbagai spesies ikan-ikan hilang diterpa limba tambang penuh racun. Juga hutan yang menjadi rumah bagi segenap petani dan makhluk hidup lainnya kini telah binasi akibat ambisi negara yang tak berpikir akan hidup dan kehidupan masyarakat di masa kelak. Kalimatan, Papua, dan beberapa daerah di Indonesia telah cukup memberikan kita warna dan pelajaran, bahwa kerusakan alam akibat dari perampasan ruang hidup yang dilakukan oleh para korporasi oligarki ini adalah ancaman yang mestinnya kita lawan, sebab tambang tidak akan pernah berpihak dan memberikan kita apapun selain membabat, merampas, dan mencemari ruang hidup kita.
Alam atau lingkungan adalah paru-paru dunia, manusia dalam setiap detik dan menit menjalani hidup dengan sangat membutuhkan oksigen dari apa yang ia hirup. Maka penting kiranya alam dan lingkungan yang hari ini masih tersisa sebagian harus tetap lestari dan terjaga. Jika tidak, maka bahaya potensi krisis iklim akan mengintai dan membunuh kita dengan perlahan. Hentikan sedikit keserakahan dan kerakusan yang hari ini marak terjadi di tubuh oligarki dan korporasi, dunia butuh oksigen dari hutan dan alam, bukan dari uang hasil-hasil perampasan ruang hidup petani. Hentikan.!!
Halmehera merupakan pulau terpanjang dan terbesar di Maluku, pulau Halmahera merupakan bagian dari provinsi Maluku Utara. Dipulau ini juga sangat beragam, mulau dari budaya, adat, suku, dan bahkan punya kekayaan alam dan manusia yang tak kalah hebat dari pulau-pulau lain. Pulau Halmahera dibagi menjadi menjadi lima kabupaten, diantaranya adalah Halmahera Timur, Halmahera Tengah, Halmahera Selatan, Halmahera Barat, dan Halmahera Utara. Semuanya berpropinsi di Maluku Utara. Hampir mayoritasnya masyarakatnya bekerja sebagai petani, nelayan, dan juga beberapa yang bekerja sebagai buruh.
Sumber atau ruang hidup pemanfaatan untuk penuhi kehidupan dan ekonomi sangat beragam, ada yang memanfaatkan kekayaan laut sebagai nelayan dan ada juga yang memanfaatkan hasil-hasil hutan dan tanah subur untuk ditanami berbagai macam jenis tanaman bulanan maupun tahunan. Maluku Utara dikenal sebagai kota remaph-rempah karena memang dihampir kabupaten-kabupatennya mempunyai sumber daya alam seperti pala, kelapa, dan cengkeh.
Kehidupan ditengah hutan bersama pala, kelapa, cengkeh, dan lain-lain memang telah ada semenjak dahulu kalah. Hasil-hasil alam yang telah dijaga dan dipelihara dengan perlawanan melawan penjajah ini sampai sekarang masih lestari dimanfaatkan oleh hampir seluruh masyarakat Maluku Utara diberbagai Kabupaten. Ambisi mobil listrik yang hari ini mengakar kuat sebagai satu kepentigan korporasi dan oligarki ini ternyata mencoba untuk meredupkan ini kekayaan alam Maluku Utara, hal ini punya dampak luar biasa, seperti hilangnnya ruang hidup petani dan masyarakat, tercemarnya laut dan sungai, hingga hutan lebat yang dibabat habis hingga rusak. Tidak ramah terhadap lingkungan adalah kealpaan yang disegaja oleh mereka para pemilik kepentigan.
Rakyat dan mahkluk hidup lainnya dipinggirkan, perampasan yang seriang melahirkan intimidasi dan kekerasan ini menjurus ke segalah sektor, hanya karena ingin memenuhi kepentigan kelompok dan diri sendiri.
Negara kini telah lupa bahwa yang paling utama untuk diperhatikan dan dipenuhi kebutuhannya adalah masyarakat sendiri, bukan kepentigan korporasi orang-orang asing. Perampasan ruang hidup yang hari ini terjadi di pulau panjang Halmahera adalah ancaman pembunuhan identitas dan kehidupan masyarakat. Hadirnya beberapa tambang di daratan Halmahera hingga detik ini tidak sama sekali memberikan dampak baik dan positif terhadap kehidupan masyarakat. Namun, yang terjadi hanya perampasan, pembabatan, dan pencemaran yang masif dilakukan oleh perusahaan-perusahaan milik negara asing dan negara sendiri.
Halmahera Tengah, Halmahera Timur, dan Halmahera Selatan adalah tiga titik sentral terjadinya kerusakan-kerusakan lingkungan dan juga perampasan ruang hidup para petani. Dilansir dari Mogabay dengan judul “Kala Ruang Hidup Warga Maluku Utara Makin Terdesak Industri Ekstraktif yang ditulis oleh Rabul Sawal pada 26 April 2022.
Malut masuk daerah rentan alami dampak krisis iklim seperti ancaman-ancaman pulau-pulau kecil hilang. Contoh, Pulau Pagama di Mangoli, Kabupaten Sula, tenggelam atau Pulau di Halmahera Utara, mulai terkikis. Bisa juga, katany, melihat bagaimana pulau-pulau kecil secara ekologis bangkrut dari kerukan industri ekstraktif seperti Pulau Pakal, Mabuli, Gee di Halmahera Timur. Juga, Pulau Gebe di Halmahera Tengah, dan Pulau Obi di Halmahera Selatan. Selain bencana ekologis, tanah dan sumber-sumber kehidupan warga pun makin tergerus.
Kondisi ini, katanya, berdampak signifikan terhadap kerentanan pangan warga sebagai dampak penurunan pola produksi secara subsistensi. “Mirisnya, sebagian dari hal itu berbeda dalam apa yang ditetapkan sebagai kawasan-kawasan industri proritas nasional,” kata Nursyahid. Sisi lain, pemerintah tengah alami masalah kendai kewenangan dengan kehadiran UU Cipta Kerja. Regulasi ini, seluruh perizinan dan persetujuan investasi beralih ke pemerintah pusat. “Secara otomatis akses masyarakat terhadap informasi, partisipasi publik, dan keadilan terhadap persetujuan pengendalian dan pengelolaan limabh pabrikasi berpotensi makin sulit juga”.
Pembabatan hutan yang berakibat fatal pada terjadinya kerusakan lingkugan dan hilangnnya perampasan ruang hidup di daratan tanah Halmahera hari ini telah cukup memberikan kita aba-aba untuk menanti dampak-dampak luar biasa yang nantinya akan terjadi. Mestinya negara dan pemda perlu lihat ke bawa, bahwa sebagian dari masyarakat masih memanfaatkan hasil-hasil laut dan hutan untuk kebutuhan hidup.
Beberapa industri nikel yang hari bercokol kuat di Halmahera Tengah, Halmahera Timur, dan Halmahera Selatan hari ini jelas sampai kini belum memberikan satu kehidupan sejahtera bagi masyarakat yang hidup dilingkaran itu. Ini jelas, sebab yang ada hanya mereka yang punya saham juga punya kepentigan yang berhak mendapat hasil-hasil dari tambang tersebut. Masyarakat Halamahera Timur, Tengah, dan Selatan yang hidup dan tumbuh besar serta yang paling berhak meraup untung atas apa yang didapati oleh pertmabangan dipinggirkan, bahkan diintimidasi. Ruang hidup mereka terancam hilang, petani yang masih memanfaatkan hasil-hasil alam untuk penuhi kebutuhan dipaksa pinda profesi, yang duluhnya sebagai petani dan nelayan, kini semacam ada paksaan untuk menjadi di buru tambang. Pala , kelapa, cengkeh, dan lain-lain kini digusur hingga rata bersama tanah, ruang hidup titipan leluhur yang mestinya tetap terjaga kini disulap jadi pabrik-pabrik raksasa yang mencemari udara. Merampas hak-hak milik orang lain adalah kejahatan, maka sudah tentu yang dilakukan oleh negara dan dibiarkan oleh pemda dan pemdes hari ini adalah kejahatan.
Negara dan pemda harus berpikir objektif atas apa yang sesungguh masih dipertahakan oleh ,masyarakat dalam memenuhi kebutan, jika masih dengan hasil-hasil hutan, maka berikan mereka pelayanan atau barangkali penyediaan alat-alat yang memudahkan mereka untuk bekerja, bukan malah merampas ruang hidup mereka. mari waraskan diri untuk melawan mereka para perusak alam, jangan biarkan semunya diambil. Jaga yang tersisa(*)
Discussion about this post