Oleh: Fuadsul Nurdin
(Pegiat Literasi Independensia)
KEJADIAN yang menimpa seorang kakek, penjual pentolan di benteng Orange-Ternatesudah hampir seminggu yang lalu menarik simpati netizen, laku yang tak patut dijadikan contoh: makan lima puluh tusuk pentolan tapi tak bayar. Video yang diunggahakun @cumaakunpalsu_pada 27 Januari di aplikasi Tik-Tok ini mendapat perhatianbanyak orang saat di post, dan telah mendapatkan 21.4k like, namun belum diketahui siapa pelakunya, entah pemuda, remaja, atau anak, semua punya potensi menjadi pelaku.
Dalam video yang berdurasi 48 detik itu mengundang rasa kepedulian para pengguna Tik-Tok, melalui pesan-pesan yang ditinggalkan di kolom komentar.
Kejadian Kakek ini menambah daftar perilaku konsumen nakal dan tidak tahu diri yang pernah saya dapati, baik itu melalui media, maupun mendengar sendiri cerita-cerita dari mereka yang dulu pernah melakukan hal yang sama, tak jarang juga teman sendiri.
Peristiwa makan tak bayar ini sering menjadi penyakit anak-anak muda, apalagi anak sekolahan yang nakal, sasarannya adalah para pedagang kaki lima, yang berjualan di depan sekolah dan di kantin.
Sependek pengetahuan saya, ada beberapa modus yang biasa digunakan para pelaku. Bukan untuk mengajari cara mencuri, tapi ini sebagai ikhtiar agar lebih peka terhadap gerak-gerik yang tak biasa di lokasi.
Mereka yang biasa melakukannya paham betul, bahwa yang paling penting adalah insting tentang kondisi tempat atau objek yang akandioperasi. Sebagian dari pelaku tahu betul seperti apa, dan di jam berapa mereka harus mencuri dan tidak.
Menariknya, mereka jago walaupun tidak membaca buku Sun Tzu, Seni Menipu. Meminjam apa yang pernah ia katakan: “Jika anda memahami “langit” dan anda memahami “Bumi”, anda akan membuat kemenangan anda semakin lengkap.”
Kemampuan mengamati untuk menentukan jalannya aksi atau tidak, dapat melahirkan dua situasi, dua modus (cara), dandua tipe pelaku sesuai dengan mental masing-masing, apakah ia mental penipu atau mental pencuri.
Dua situasi, yang pertama yaitu situasi yang “ramai, penuh dan sesak dengan orang”, dengan presentasi kefokusan penjual terhadap pelanggan itu setengah (50%) atau kurang, dalam skala 100%, memanfaatkan situasi seperti ini banyak sekali terjadi, dan tak jarang selalu sukses dalam aksi itu.Kedua, di situasi sunyi. Skill ini jarang ditemui, karena berpotensi mudah diketahui akibat teralihnya fokus pandangan penjual kepada kita.
Dua modus (cara)ini adalah turunan dari memaknai situasi ramai dan sunyi yang terjadi. Yang pertama dilakukan di situasi yang sedang ramai, dengan menjadi Bunglon di tengah keramaian dan sesak. Mereka akan masuk dan menjadi bagian dari keramaian. Kemudian membaurkan tangan kotor mereka dengan tangan orang lain yang membeli dan membayar, tangan mereka berbeda, mencuri. Set, tanpa disadari dua bakwan telah diamankan dan dibawah keluar. Hal yang sama juga dapat terjadi di rumah makan yang ramai, makan, sudah kenyang lalu kemudian pura-pura keluar.
Cara yang kedua, Menjadi Cicak di situasi yang sunyi, dengan cara mengalihkan fokus korban, maka biasanya ada dua orang yang menjalankan aksi, kedua-duanya masuk kemudian melihat-lihat, yang satunya mengalihkan perhatian seperti ekor cicak, kemudian satu orang lagi mengambil dan pura-pura kembali melihat-lihat, kemudian pergi.
Hal yang sama bisa juga dilakukan oleh satu orang,yaitu dengan mengambil dua barang, yang satunya dibayar, dan yang satu disimpan. Kasus lain yang tak kalah parah yaitu seorang disuruh mengambil pentolan misalnya 20 tusuk sesuai instruksi temannya, dengan dalih telah membayar, ia membayarnya. Namun yang telah dibayar itu hanya seharga 10 tusuk.
Jika kita petakan ke dalam dua hal, dalam hal ini mental pelaku. Maka pertamayaitu mental pencuri, yang keduanyapenipu, makan tanpa bayar. Makan tanpa bayar itu juga bagian dari mencuri. Kalau yang pertama, diambil kemudian pergi, setelah aman baru dimakan, yang kedua sedikit berbeda, diambil, makan dulu karena merasa aman, baru pergi.
Sayangnya fenomena yang menjangkiti siswa karena pergaulan bebas dan pengaruh kenakalan remaja ini, juga menggerogoti anak-anak yang lain, dan turun-temurun kepada adik kelas, teman yang pernah mendengar cerita, bahkan hingga ikut menjalankan aksi.
Fahrudin Faiz, Dosen Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, pernah mengatakan tentangpeace, kebahagiaan, damai. Untuk mencapai itu, ada dua cara: tahu diri, dan tahu batasan.
Jadi sejatinya segala macam carut marut masalah yang terjadi, itu manakala kita tidak tahu batasan kita sebagai makhluk sosial, dan tidak tahu diri. Itulah kenapa kekurangan pengetahuan tentang itu, barangkali juga salah menempatkannya berakibat fatal, dan merugikan orang lain.
Dalam Nunci, Seni Membaca Pikiran dan Perasaan Orang Lain(2022)karya Euny Hong, ia membahas mengenai dengan ajaran yang disebut Konfusianisme, ajaran yang menekankan keteraturan dalam masyarakat dan hierarki dimana setiap orang tahu posisi masing-masing.
Ajaran ini relate, dengan apa yang dikatakan Fahrudin Faiz serta kasus yang menimpa Kakek di Benteng Orange, seandainya orang yang makan itu tahu posisinya sebagai konsumen, serta kewajiban konsumen harus membayar atas barang yang ia peroleh serta tidak menipu dan mencuri, maka kejadian hilangnya pentolan tanpa dibayar itu tak akan terjadi.
Andai saja semua orang sadar akan posisinya dalam kehidupan sosial bermasyarakat, maka keharmonisan dengan sendirinya terbentuk.
Ditelisik dari segi agama, khususnya dalam ajaran Islam, perilaku ini termasuk ke dalam dosa besar, dan ancamannya dipotong tangan, sebagaimana ditegaskan dalam QS. AL Maidah: 38, perkara yang sama juga ditegaskan dalam HR. Bukhari no. 6285, muslim.or.id(2021).
Pun, sebagai negara hukum, Indonesia juga mengatur, terdapat dalam pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu bahwa siapapun yang melakukan tindak pidana pencurian, diancam dengan pidana penjara maksimal lima tahun, atau denda sebanyak-banyaknya enam puluh rupiah.
Berbagai macam regulasi, baik dari hukum, agama, sampai dengan etika sosial masyarakat, seringkali diabaikan oleh setiap pelaku tindak kejahatan. Pertanyaannya adalah, apa yang harus dilakukan agar kelompok-kelompok atau orang seperti ini, tidak lagi mengulangi perbuatan yang sama dengan melakukan pendekatan yang berbeda?
Maka perlu adanya identifikasi anak yang punya potensi, dan telah kedapatan, untuk semua siswa juga tidak masalah, yaitu dengan melakukan pendekatan yang kuat, melalui pengajaran dan didikan di sekolah kepada peserta didik.
Begitu juga di kelurahan atau desa, sasarannya yaitu anak-anak, dan pemuda, mereka juga tak luput dari potensi.
Dalam lingkungan keluarga, peran orang tua juga sangat penting, khususnya ibu sebagaiMadrasatul Ula, sekolah yang palingutama sekaligusguru pertama bagi seorang anak.
Hal ini dimaksudkan untu mencegah setiap anak melakukan hal yang tidak baik, dengan cara diingatkan secara intensyang didukung oleh circleyang berkualitas. Harapannya, pendekatan itu menjadi benteng, dalam memproteksianak agar tak mudah terpengaruh.Sayangnya tak jarang kita temukan orang tua yang kurang dekat dengan anak, sehingga didikan khususnya secara emosional dan akhlak hanya dilakukan apabila anak melakukan masalah, padahal tidak begitu.**
Discussion about this post