JAKARTA, MS– Kasus pencemaran nama baik yang melibatkan Haji Robert dan Muhamad Iram Galela kembali mengangkat isu penerapan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), khususnya Pasal 27 ayat (3) yang mengatur tentang penghinaan dan pencemaran nama baik
Meskipun UU ITE telah mengalami perubahan melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016, pasal terkait pencemaran nama baik dalam ranah digital masih menimbulkan polemik.
Polemik ini semakin mengemuka ketika dikaitkan dengan kebebasan berekspresi dan kritik publik, terutama dalam kasus yang melibatkan tokoh-tokoh masyarakat.
Hal ini disampaikan oleh Praktisi Hukum dan Pemerhati Hukum di Indonesia Wilson Colling, S.H., M.H., kepad seputarmalut Rabu, (25/9/2024)
Aspek Hukum Pencemaran Nama Baik di Era Digital
Dalam hukum pidana, Kata Wilson, terkait pencemaran nama baik ini telah diatur dalam Pasal 310 dan Pasal 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Namun, lanjut Dia, UU ITE telah menambah dimensi baru terhadap kasus pencemaran nama baik di dunia digital, terutama terkait dengan penggunaan media sosial.
“Pasal 27 ayat (3) UU ITE menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang memuat penghinaan atau pencemaran nama baik dapat dijerat pidana” Ujar Wilson melalui riilsannya
Wilson menyebut, bahwa untuk dikategorikan sebagai pencemaran nama baik, ada beberapa unsur penting yang harus dipenuhi yakni :
1. Unsur Kesengajaan: Tindakan pelaku harus bersifat sengaja dalam mendistribusikan informasi yang dianggap mencemarkan nama baik seseorang.
2. Muatan Penghinaan: Informasi yang disebarluaskan harus memuat unsur penghinaan atau merendahkan martabat seseorang.
3. Tanpa Hak: Informasi tersebut disebarluaskan tanpa dasar hukum atau kepentingan yang sah.
Kasus Haji Robert dan Muhamad Iram Galela
Berdasarkan informasi yang ada, Muhamad Iram Galela, yang menjabat sebagai Ketua Umum AMPP-TOGAMMOLOKA, diduga mencemarkan nama baik Haji Robert melalui media sosial. Dalam menilai kasus ini, beberapa aspek penting perlu ditelaah secara mendalam:
1. Kandungan dan Konteks Pernyataan: Apakah pernyataan yang dibuat oleh Muhamad Iram Galela mengandung penghinaan atau hanya merupakan kritik yang sah? Dalam beberapa kasus, kritik terhadap tokoh publik sering dianggap bagian dari kebebasan berekspresi yang dilindungi oleh Pasal 28F UUD 1945, selama kritik tersebut tidak melanggar martabat pribadi seseorang.
2. Kepentingan Publik: Sebagai tokoh publik, Muhamad Iram Galela memiliki posisi untuk menyuarakan pandangannya, terutama jika hal itu menyangkut kepentingan umum. Jika kritiknya terhadap Haji Robert merujuk pada kebijakan atau tindakan publik, maka pernyataan tersebut dapat dipandang sebagai bagian dari kebebasan berpendapat yang sah.
3. Penerapan UU ITE: Pihak kepolisian Polda Maluku Utara harus berhati-hati dalam menerapkan UU ITE, mengingat pasal pencemaran nama baik dalam undang-undang ini seringkali digunakan untuk membungkam kritik. Mahkamah Konstitusi telah menegaskan bahwa penerapan hukum pencemaran nama baik harus dilakukan secara proporsional, menjaga keseimbangan antara perlindungan reputasi dan kebebasan berekspresi.
Pendekatan Bijak dalam Penerapan UU ITE
1. Prinsip Proporsionalitas: Penegakan hukum dalam kasus ini harus mempertimbangkan prinsip proporsionalitas, yaitu keseimbangan antara hak kebebasan berpendapat dan perlindungan nama baik. Pertanyaan kuncinya adalah apakah pernyataan Muhamad Iram Galela memang memenuhi unsur pencemaran nama baik atau justru merupakan kritik yang layak dilindungi.
2. Mediasi dan Penyelesaian Alternatif: Kasus pencemaran nama baik seringkali bersifat subjektif dan emosional. Oleh karena itu, mediasi seringkali menjadi solusi yang lebih bijak sebelum masalah ini diangkat ke ranah pidana. Hal ini sejalan dengan semangat revisi UU ITE yang mendorong penyelesaian sengketa melalui mediasi.
Untuk itu, Wilson menyimpulkan, bahwa kasus pencemaran nama baik yang melibatkan Haji Robert dan Muhamad Iram Galela menuntut kajian mendalam terhadap unsur-unsur yang terkandung dalam UU ITE, khususnya terkait Pasal 27 ayat (3).
“Pihak kepolisian Polda Maluku Utara perlu menilai dengan cermat apakah pernyataan yang dibuat oleh Muhamad Iram Galela di media sosial benar-benar memenuhi unsur penghinaan atau sekadar merupakan kritik yang sah. Selain itu, penyelesaian melalui mediasi dapat menjadi langkah yang lebih bijak guna menghindari eskalasi kasus ke ranah pidana yang lebih rumit” Imbuhnya
Penulis : IKI
Editor : Redaksi
Discussion about this post