MEDIASEMUT.COM – Purbanya, sebelum kepingan-kepingan kaca menyeret gadis lembayu penuh semangat, periang, pemaaf dan tak luput santun selalu mengiringi kehendak-kehendak rekam jejaknya, kini ia tumbuh kembang menjadi gadis gila, ketus, tak bermartabat, egois dan penuh lebam-lebam dititik relung terdalamnya.
Kenalkan aku lentera jingga yang telah redup pelitanya. Mesti terbilang sudah beberapa tahun aku lalai menjadi diriku sendiri, aku selalu menunggu eraku dahulu memanggilku dengan tulus. Percayalah aku akan senantiasa memberikan kesungguhan itu. Mengapa tak ada satu orangpun yang bertanya bagaimana aku menjalani hari-hari dengan segerombolan kepenatan?
Suatu ketika seraya mengucapkan selamat pagi untuk diri, aku terbangun dari tempat tidur beranjak pergi kesekolah dengan kelapangan beserta kerendahan hati yang terus ku asa dengan segenap jiwa. Hari-hariku terasa sangat menyenangkan ketika tak ada problema-problema mematikan yang mesti diperhatikan, dipikirkan, dan dibereskan, aku hanya tahu bermain dan makan, selebihnya kembali tidur dimalam hari. Tetapi semuanya berubah ketika aku menginjaki bangku SMA. Mengapa tak orang lain saja yang mengalah padaku? Kupikir aku tak berhak ditimpahkan orang-orang picik yang mengerubung hidupku.
Lentera namamu?
Iyaaaaaaa, Jawabku dengan nada yang amat ramah.
Hahaha. Namamu kok jadul sekali, orang tuamu pasti bodoh ya? Memilih nama yang amat aneh.
Aku rasa namaku cantik kok, tidak aneh rasanya.
Apakah kau bodoh? Ikut siapa kamu? Mama atau papamu?
Aku selalu diejek, ditinggalkan, bahkan selalu diperas setiap uang jajanku. Sedari SD aku selalu dibully. Tapi aku selalu dengan wajah periang yang tak pernah memikirkan orang-orang jahat bakal datang menghampiri.
Hari itu aku masih memaklumi dan terus bermain tak hiraukan cemohan, seperti serangga terbang yang berusaha mengigitku namun tak berbekas. Esoknya aku dikunci didalam kelas. Sebenarnya apa yang menjadi alasan mereka terus saja mengangguku?
Kami tidak suka ada perempuan seperti kamu masuk disekolah ini. Wajah yang cantik, serta kecerdasanNyang kau punya itu membuat enek melihatnya, enyalah kau dihadapan kami.
Apa yang salah dengan gadis ambisius? Aku rasa aku tak membuat secuil kesalahan tentang itu. Aku terus menenangkan diri dengan segala iri dengki yang terus menyelinap dalam diri mereka. Sontak berpikir untuk membalas dendam tapi lagi-lagi nyaliku tak sehebat dan sekuat mereka dalam mencaci maki orang.
Sepulang sekolah, aku bercerita kepada ibuku tentang kejadian-kejadian malang yang tertimpah padaku, ibuku terus menguatkanku untuk terus melanjutkan sekolah. Bertahan yaaa, sampai kau beranjak dewasa kau akan paham dengan sendirinya.
Mula-mula kucoba untuk tidak periang dan pemaaf agar tak melulu diintimidasi dengan kampret-kampret sialan seperti mereka. Lalu, wajahku semakin hari semakin berubah menjadi ketus, tak sopan, karena takut semua orang akan meredahkanku lagi. SMPku cukup terasa sedikit melegakan, walau masih saja ada yang mengongong setiap harinya.
Masuklah pada eraku menjadi perempuang gila seutuhnya, yakni masa SMAku yang penuh remuk akibat serangan yang tak kasat mata yang merangkulku dengan belati tajam rupanya. Aku adalah sekian dari anak yang beruntung sebab memiliki keluarga yang terbilang Cemara. Meski realitanya di lingkungan luar aku tak selalu cemara.
Aku berkenalan dengan lelaki dewasa juga dermawan yang sempat mencuri hati mungil ini. Dia teramat baik padaku, sehingga mudah sekali membuatku terpaku akan lakunya. Perlakukan itu bertahan hanya selama dua tahun belaka kita berpacaran. Padahal dia adalah lelaki kasar, manipulatif, juga gila perempuan. Pasalnya aku selalu memaafkan dan memberi dia kesempatan. Tapi, tak ada perubahan yang bisa diterima, ketika dia kesal dengan ulahnya sendiri aku yang selalu dilampiaskan tangan itu yang selalu mencabik-cabikku seperti adonan kue yang hendak dipanggang.
Dua tahun bersamanya seperti neraka bagiku. Aku terus mencari cela agar terhindar dari lelaki iblis yang memanfaatkan tubuhku. Hidupku kali ini seperti neraka yang berkobar penyesalan. Aku lari dari genggaman tangan yang mencekamku waktu itu, aku berusaha sekuat tenaga hingga akhirnya bisa terlepas dengan semua kenestapaan yang merangkulku bak monster itu, kenangan memang sedikit sempit, tapi terlampau berisik! Aku mesti menyembuhkan lukaku sendiri, padahal dia yang menancapkan belati itu, tapi mengapa aku yang mesti meminta maaf ? Karena jipratan darahku terkena padanya.
Sejak saat itu sesiapapun yang masuk dan mengetuk pintu untuk bertamu, aku selalu egois, keras kepala, dan selalu memikirkan diri sendiri demi ketenangan, keteledoran beserta kelalaianku dimasa lalu.(*)
Oleh : Sirli Saputri Habib Abdurachman
Discussion about this post