MEDIASEMUT.COM – Sudah lama saya mengenal bahkan bisa dibilang bersahabat dengan dunia literasi sejak umuran paud, sejak pertama kali ayah mengenalkan kepada saya tentang aksara, sedang ibu mengeja huruf-huruf di papan tulis menjadi kata, kemudian mengumpulkan kalimat, saya jatuh cinta dengan hari pengembelangan itu. Pinta ayah terpapang jelas di telinga Iqro, seperti tuhan kepada umatnya. Namun, bagi saya dunia literasi bukan sebuah hal yang asing, karena literasi bukan sekedar mengkaji, bukan sekedar membaca, tapi menulis juga bagian daripada tubuh literasi. Apalah artinya sebuah bacaan jika tidak ada menulisnya.
Di usia seragam merah putih saya menjadi sedikit berpeluk buku, hampir semua buku-buku ayah di rumah, sisa koleksinya selama bersekolah, selama menjadi wartawan, atau buku-buku pelajaran dari sekolah dan buku anak-anak pemberian ibu, sanak keluarga, saya selalu melahapnya tanpa ampuh walau kadang dalam waktu yang relatif lama. Saya benar-benar masuk kategori kutu buku dibandingkan teman-teman saat itu. Seingat sejak dibangku kelas empat tempat saya mulai tumbuh karena perpustakaan sekolah. Saat teman-teman sebaya lain saling kejar mengejar waktu istirahat, menikmati setiap jajanan dari saku orang tua, saya malah memilih membuka buku di perpustakaan demi menabung uang jajan untuk membeli buku-buku kumpulan cerita pendek.
Ketika mulai beranjak remaja saat memasuki sekolah menengah pertama, kebiasaan-kebiasan membaca saya tidak hilang begitu saja. Bahkan, beberapa teman saya menjuluki saya buku berjalan. Mungkin untuk orang kota, lumrah saja, tapi tidak untuk orang-orang yang bermukim di pedesaan macam tempat saya, itu luar biasa. Tidak hanya di situ, bila di sekolah saya sering menanggap perpustakaan itu bagaikan surga, karena selain tempatnya tenang, di dalamnya penuh dengan berbagai macam ilmu pengetahuan. Selama tiga tahun saya menempuh pendidikan di sekolah menangah pertama, selama itu pula, setiap istirahat pertama dan kedua saya pun berada di sana. Perpustakaan sudah seperti rumah saya sendiri.
Kemudian di masa-masa sekolah menangah awal, saya adalah yang paling pendiam, kadang kalang kabut, termaksud dikategorikan murid yang pendiam di depan guru, di belakang seperti tikus, dari hal-hal seperti itu membuat saya sering dibuly, dipukul ramai-ramai, diludahi murid-murid bandel kadang-kadang dan banyak lagi kisah yang bisa dikata tidak sopan, seperti hampir terjebak budak-budak cinta seragam putih abu-abu, seperti terbang ke unsur kekinian, remaja yang hampir mengenal rokok di usia kelas dua SMA, buat onar, saya kadang hampir terjebak, tapi menghindarinya dengan duduk di teras kelas membaca buku, mengunjungi perpustakaan, di lorong-lorong sekolah sampai diumpati cupu, kuper, tidak gaul dan sebagainya, tentu saja saya terima, tapi kata teman sebaik tempo itu, orang-orang yang rajin membaca buku, waktunya dengan buku-buku tak selamanya beranti sosial, mereka selalu punya cara tersendiri.
Dari sekolah dasar sampai sekolah menengah awal, sembilan tahun saya bersekolah, buku-buku selalu menjadi pemenangnya, tapi seketika saya ambruk, ketika memilih mendaftar kuliah dengan jurusan kedokteran tempo itu, saya memilih ingin kuliah kedokteran di Jogja, Qadarullah, Allah SWT, melalui perantara Ayah, ibu dan keluarga besar yang tidak mengizinkan saya untuk tidak dengan mengejar karir kedokteran dengan berjuta alasan, salah satunya kekurangan fisik, dan tidak harus jauh-jauh dari rumah. Sejak saat itulah, dunia saya sedikit hancur, membawah mimpi yang lenyap, angan-angan menjadi seorang mahasiswa kedokteran, cita-cita untuk menjadi seorang dokter terenggut. Tanpa sadar saya melampiaskan semua kekecewaan itu kedalam bentuk tulisan di buku diary, curahkan semuannya. Dan saat saya sudah sampai hari ini, saya jadi malu sendiri ketika membaca tulisan-tulisan tersebut. Ternyata saya secengeng itu, perkara karir, hahaha.
Hari-hari kian berlalu, saya mencoba menerima kenyataan, untuk tidak bisa menjadi menjadi dokter mengobati orang-orang keterbatasan fisik seperti saya, mengobati orang-orang yang tidak mampu secara gratis, banyak lagi. lalu memilih berkuliah di Universitas Muhammadiyah Maluku Utara dengan jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, sembari mondok untuk mengobati hal-hal yang sudah dan ingin mendapatkan nuansa baru dari isi kepala bertemu bantal dengan cara membaca buku-buku. Tapi, seingat saya berawal dari membaca kisah-kisah yang dituliskan oleh beberapa penulis online. Saat itu, saya tergabung di salah satu group online yang seminggu sekali, ada dimuat tulisan sosok seorang penulis dengan menggunakan nama pena, sekali dia mengupload tulisan-tulisan yang dibanjiri pujian terimakasih, sembari itu, saya selalu menanti tulisan-tulisannya.
Saya sangat akrab dengan penulis tersebut, suatu ketika sempat ia menyapa lewat masenger ”Nha bur saya membuat sebuah grup khusus kepenulisan, saya undang bergabung ke grup tersebut, saya tidak mengupload tulisan saya di group biasanya lagi, jadi biar di grup khusus literasi saja.” Saya pun segera bergabung. Beberapa bulan setelah bergabung, sang penulis yang membuat saya untuk lebih gairah menulis mengadakan lomba menulis cerita pendek. Dari situ hati saya pun terketuk untuk mengikuti lomba tersebut, saya berkata dalam hati, ”Selama ini saya selalu membaca tulisan orang, apa tidak lebih baik banting setir untuk mencoba menulis saja lebih luas? Sepertinya tidak ada yang salah, jika saya berani mencoba.”
Akhirnya, saya perlahan mencoba megubur mimpi lalu mengiyakan saran ayah, menekuni dunia kepenulisan dengan tekun. Ayah juga telah menampar saya untuk mulai mengikuti jejaknya penulis tanpa buku. Beberapa teman saya di bangu Kuliah menganjurkan untuk menulis. Dan tahun 2020, merupakan tonggak awal saya menulis di media mulai bermunculan. Tidak puas, mengikuti lomba dari satu lomba di beberapa online, saya lebih mengembangkan lagi sayap pena. Apalagi di tahun-tahun itu saya berhijrah ke perguruan tinggi jurusan bahasa dan sastra Indonesia, jurusan yang tidak pernah diimpikan saya, soal belajar bahasa Indonesia di sekolah saya sering panjat jendela walau dikenal culun. Dan, ternyata pelan-pelan beberapa tulisan saya banyak dirindukan teman-teman, teman sekitar, kebanyakan teman-teman dibangku sekolah dahulu, yang sering membuang luda, katanya saya bukan siapa-siapa, hanya anak kerongkongan kering, walau begitu saya tetap saya pemula yang masih abal-abal. Kenapa abal-abal? Karena sampai saat ini saya belum begitu memahami apa itu KBBI, EYD, dan sederet peraturan dalam dunia kepenulisan.
Seringi waktu saya telah asyik dengan menulis, walau hadir sebagai pemula, beberapa buku berbagai kumpulan puisi dan cerpen telah melibatkan saya. Saya sering juga ikut perbanyak mengikuti event menulis pada beberapa grup, kelas-kelas menulis di bangku kuliah, kajian kepenulisan, walau saya selalu terlambat, tapi memegang terus ucapan Pram “Orang boleh pandai setinggi langit. Tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di masyarakat dan dari sejarah”. Atau ada juga teman lain yang pernah berkata kepada saya “Ikatlah bacaan dengan menuliskannya”. Hal yang tak membuat saya patah semangat belajar, mempelajari tulisan-tulisan lalu kembali menulis, karena bukan anak raja setiap keinginan sembilan puluh sembilan persen di depan mata. Walau masih banyak tulisan-tulisan saya tak sebagus, tak sempurna, tapi saya tetap menulis sebagai obat yang patah, yang jatuh, yang gugur.
Ah, adakalahnya saya kalang kabut menghadapi hidup ini, apalagi mimpi yang tak terkubur seutuhnya, tetapi saya mencoba meyakini dengan menulis, walau banyaknya beban mental yang terpikul di pundak, tetapi percayalah selalu ada jalan menuju cita-cita yang telah patah, banyak kegagalan dan luka yang bisa dipatahkan oleh sebuah perumpamaan, “Banyak Jalan Menuju Roma.” Meskipun cita-cita saya pernah patah, tetapi saya berfikir selalu punya banyak jalan kesuksesan.
Ternate, 08 Oktober 2023.
Oleh : Burhanuddin Jamal
(Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia ISDIK Kie-raha Maluku Utara)
Discussion about this post