Siang itu awan terlihat acak-acakan, entah pertanda hujan menyapa atau binar mentari hanya meredupkan senyumnya, tiba-tiba rangsangan pikiran mulai bergelut bahwa ada janji yang mesti ditepati.
Kaka dimana ? Tanyaku.
Di kampus… jawabnya
Sebentar jadi pergikan ? Tanyaku riang.
Iyaaa. Katanya dengan spontan
Kalau tidak jadi bagaimana ? Tanyaku untuk meyakinkan Pergi.
Awass yaa kalo gak jadi, ancaman yang menepikan obrolan kita.
Selepas dari pergolakan anak kuliahan, pesan masuk kembali rinai dalam percakapan, aku menyuruh sepasang yang serupa denganku itu untuk menjemputku, setibanya kita di kosannya, tiba-tiba pemberitahuan mendadak bahwa ada mata kuliah yang mesti dia ikuti, begitulah dosen sesukanya mengatur dan mengganti jadwal, kemudian dia dengan sepasang bola mata yang ranum itu beranjak dari hadapanku. Sebenarnya aku sedikit kesal, sebab pikirku kita tidak jadi pergi melepaskan penat dan mencari gagasan baru. Sendirian aku di kamar indekostnya, sebenarnya aku ingin menunggunya untuk makan bersama, tapi keroncong perut ini tak lekas untuk menghilang, selesai makan, akupun berinisiatif mengeledah semua buku-buku yang ia punya. Tak kutemukan satu butir novelpun untuk menemani, akhirnya aku memilih tidur.
Pukul 03:00 sore, seseorang mengetuk pintu kosan untuk membangunkanku, pertanda bahwa ia telah pulang di pelupuk mataku. Setibanya ia kita bergegas untuk menikmati ketertinggalan, pergi mencari gagasan, dan sekaligus melepaskan kepenatan terhadap hari-hari yang sempat usang,
Sesampainya kita disebuah tempat makan, yang berteduhkan di persimpangan pantai, ia menyuruhku untuk cepat-cepat turun agar dapat mengambil potret paling romantis dengan alam.
aku selalu menjadi kelinci percobaan ketika ia ingin memotret segala hal…(keluhku dalam hati)
Ketika saling tukar gambar, kitapun duduk sambil menunggu hidangan yang segera datang, kita bukan selayaknya sepasang kekasih yang memburu keromantisan yang menye-menye dan penuh keuwuan tak terbilang, tetapi kita berbeda. Kita hanya sepasang ranum yang tenang, yang persis seperti diksi dan rima, sebab kita hanya merajut dan menjalin mesra pada buku dan tulisan.
Hal yang paling romantis ala kita adalah mengajak produktif. Aku menikmati senja dengan sepotong kenangan bersamanya sambil tanganku menari di papan keyboard handphoneku. Dan dia, paling tidak menyukai jikalau sedang menikmati nikmat tuhan, tapi kita malah asik pada nikmat tuhan lainnya, maka dari itu aku selalu memotong ketika ia hendak memarahiku,
Sedang menulis secerca emansipasi saja kok, abis menulis aku akan kembali.
Hehe, begitulah kita pergi jalan-jalan bukan untuk melakukan kesenangan, tetapi petualangan, perlawanan dan karya-karya yang tak terduga.(*)
Discussion about this post