MEDIASEMUT.COM – Sudah barangkali kesustaraan merupakan hasil karya manusia dalam bentuk tulisan atau lisan yang memiliki suatu makna atau keindahan tertentu. Di dalam sastra juga disajikan bermacam-macam bentuk kisah yang mendorong pembaca untuk melakukan sesuatu.
Disastra (2004: 63) mengemukakan bahwasanya, Menciptakan dan mengapresiasi karya sastra merupakan pengalaman intelektual dan emosional yang tinggi derajatnya yang akan lebih memanusiakan manusia.
Dalam skala pendidikan sastra terdapat dua tuntutan yang dapat diungkapkan sehubungan dengan pembentukan watak ini. Pertama, pendidikan sastra selayaknya dapat memberikan bantuan dalam proses mengembangkan kepribadian peserta didik yang di antaranya yaitu kepandaian, ketekunan, pengimajian, serta penciptaan.
Kedua, pendidikan sastra sepatutnya dapat membina perasaan yang lebih kritis. Karena pada umumnya, seseorang yang telah banyak mempelajari karya sastra memiliki perasaan yang lebih peka untuk menilai mana yang bernilai dan mana yang tidak.
Tetapi di Indonesia, sastra dianggap kurang memiliki peran dalam kehidupan masyarakat. Kegiatan kesusastraan dianggap hanya memberi manfaat nonmaterial serta batiniah. Sehingga, hal tersebut dianggap masih dapat ditunda karena bukan merupakan hal yang mendesak. Gejala di atas juga kerap kali terjadi di dalam dunia pendidikan.
Atensi peserta didik serta guru lebih terhadap pendidikan sastra lebih rendah dibandingkan dengan pendidikan yang lain. Sedikitnya ditemukan sarana dan prasarana di sekolah yang dapat menopang pendidikan sastra merupakan bukti nyata adanya ketimpangan tersebut.
Acap kali pendidikan sastra diabaikan oleh pendidik, terutama bagi pendidik yang tingkat apresiasi sastranya rendah. Sehingga pendidikan sastra di sekolah disajikan hanya untuk memenuhi tuntutan kurikulum.
Dalam pandangan Purba (2001) mengemukakan bahwasanya kata sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta. Akar katanya adalah cas yang berarti memberi petunjuk, mengarahkan, dan mengajar. Oleh karena itu, sastra dapat diartikan sebagai alat untuk mengajar, buku petunjuk, instruksi, atau pengajaran.
Sedangkan menurut (Oemarjati, 1992) pengajaran sastra pada dasarnya mengemban misi efektif, yaitu memperkaya pengalaman siswa dan menjadikannya lebih tanggap terhadap peristiwa-peristiwa di sekelilingnya. Tujuan akhirnya adalah menanam, menumbuhkan, dan mengembangkan kepekaan terhadap masalah-masalah manusiawi, pengenalan, dan rasa hormatnya terhadap tata nilai, baik dalam konteks individual, maupun sosial.
Terdapat tiga pokok kemampuan belajar dalam pendidikan sastra di sekolah, di antaranya yaitu kemampuan psikomotorik, kemampuan afektif, serta kemampuan kognitif. Kemampuan psikomotorik tersebut merupakan kemampuan mengatur sisi kejiwaan untuk bertahan terhadap bermacam-macam persoalan.
Kemampuan afektif merupakan kemampuan manusia yang berhubungan dengan emosional seseorang. Kemampuan kognitif merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang berdasarkan pikiran. Semua kemampuan tersebut secara bersamaan dapat ditemukan dalam pendidikan sastra.
Di dalam pendidikan, penerapan pengajaran sastra diterapkan beriringan dengan pengajaran bahasa. Keterkaitan antara sastra dan bahasa tidak dapat terpisahkan, serta keduanya tersebut sebagai syarat yang berkesusunan. Karena antara sastra dan bahasa memiliki suatu aspek yang sama, yaitu aspek mendengarkan, berbicara, membaca, serta menulis.
Dengan adanya kesamaan di antara aspek-aspek tersebut maka sastra dan bahasa saling melengkapi antara yang satu dengan yang lainnya. Dalam penerapannya, pendidikan sastra di sekolah meliputi hal-hal seperti menyimak, mendengarkan, merefleksikan, pembacaan novel, puisi, dongeng, serta pementasan drama, mendongeng, deklamasi, berbalas pantun, menulis cerpen, menulis puisi, menulis naskah drama, dan banyak lagi yang menjadi satu kesatuan dalam menciptakan manusia yang komunikatif terhadap perkembangan zaman.
Sastra juga berada pada tataran cara untuk memahami dinamika kehidupan serta metode untuk mengetahui gejala yang akan terjadi, akibatnya dapat meningkatkan serta menumbuhkan kecerdasan yang adaptif terhadap lingkungan. Tetapi sastra lebih mengacu terhadap keahlian pengembangan diri untuk berinteraksi langsung dengan dinamika realitas kehidupan, dalam implementasinya.
Sementara tujuan pendidikan sastra di antaranya adalah agar peserta didik dapat memahami, menikmati, serta memanfaatkan karya sastra yang berguna untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, meningkatkan pengetahuan, dan kemampuan berbahasa (Depdiknas, 2001).
Yang dikemukakan Lazar (2002) mengemukakan manfaat pendidikan sastra yaitu memberi akses pada pemerolehan bahasa, memberi akses pada latar belakang budaya, memperluas perhatian siswa terhadap bahasa, memberikan motivasi kepada siswa, mendidik siswa secara keseluruhan, serta mengembangkan kemampuan interpretatif siswa.
Sastra memiliki bermacam-macam fungsi edukasi. Misalnya pendidikan sastra di dalam kelas mampu mendorong peserta didik menstimulasikan imajinasi, meningkatkan perhatian emosionalnya, serta mengembangkan kemampuan kritis.
Ketika peserta didik diperintahkan untuk memberi respon secara pribadi terhadap teks sastra yang dibaca, peserta didik tersebut akan menjadi lebih percaya diri dalam menuangkan ide mereka dan emosinya. Peserta didik juga akan terdorong untuk meningkatkan keahliannya dalam menguasai teks sastra dan memahami bahasanya.
Penerapan pendidikan sastra di sekolah juga sangat berperan penting dalam kehidupan para peserta didik. Namun penerapan pengajaran sastra juga diterapkan beriringan dengan pengajaran bahasa. Karena antara sastra dan bahasa memiliki suatu aspek yang sama, yaitu aspek mendengarkan, berbicara, membaca, serta menulis. Penerapan pendidikan sastra di sekolah sangat berperan penting dalam kehidupan para peserta didik, karena di dalam sastra terdapat nilai-nilai kehidupan yang positif seperti nilai kemanusiaan, nilai agama, nilai budaya, nilai sosial, serta nilai budi pekerti (*)
Discussion about this post