MEDIASEMUT.COM – Gemuruh suara langit terdengar gaduh, petir menampakkan keganasannya di balik malam laksana parah malaikat sedang bersengketa antara satu dan lainnya. Sehingga malam gelap perlahan-lahan mendatangkan miliyar butir hujan yang cukup dahsyat beserta angin kencang yang menerbangkan berbagai macam benda-benda ringan.
Selain itu air perlahan-lahan naik, akibat hutan di hulu sungai telah dibongkar—jalanan menjadi kecoklatan. Banyak warga terjaga sepanjang malam melawan kantuk untuk tetap berhati-hati. Suara genteng dihantam angin mencipta takut pada anak-anak kecil di pangkuan orang tua.
Namun, hal itu tidak berlaku takut pada Arjuna yang sedang tertidur lelap di kamarnya. Ibunya terus-terusan mengetuk pintu kamarnya untuk membangun Arjuna agar berhati-hati dengan kondisi rumah yang sesekali bisa roboh akibat dihantam angin—juga lantai yang pijak, kini tergenang air.
Arjuna tak menghiraukan, dengan panggilan itu. Ibunya akhirnya pasrah karena Arjuna hanya membalas dengan gumaman sepintas menandakan ia tak ingin diganggu.
Sejak sore Arjuna sudah membaringkan badannya di pulau mimpi. Kelelahan membantu ayahnya di sawah membuat Arjuna harus tidur lebih awal. Tak direspon anaknya, akhirnya ibu Arjuna memilih untuk menemui suaminya di ruang tamu yang masih berjaga-jaga di sana. Hujan deras telah menciptakan banjir yang akhirnya merobohkan salah satu tiang penyangga teras. Beranda rumah mereka kini hanya tersisa satu tiang penyangga.
Beruntung rumah itu masih bisa bertahan dari hantaman cuaca yang tak mengenal siapa pun. Ayah Arjuna berinisiatif besok akan memperbaiki itu dengan mencari kayu-kayu bekas pakai bangunan. Tapi yang ada di pikirannya sekarang bukanlah kerusakan rumah mereka. Namun sawah yang mungkin terkena banjir. Bisa jadi padi tidak akan bisa dipanen, karena banjir tentunya membawa lumpur dan akan memenuhi sawah.
“Bapak bisa perbaiki itu sendirian?” tanya ibu Arjuna
“Itu mah kecil bu, bapak kan mantan tukang” jawab ayah sambil bergurau. Ibunya hanya mengangguk mendengar jawaban suaminya dengan sedikit candaan malam itu.
“Kalau sawah kita terkena banjir, apa kali ini kita tidak panenan lagi pak? Seperti dua tahun lalu” tanya ibu, sembari mengingatkan peristiwa yang sama dua tahun lalu pada pertengahan 2021 yang merugikan petani. Padi yang terkena banjiri dari hulu sungai, akan rusak dan tidak bisa di panenan kembali karena tercampur sedimen lumpur. Seketika suasana hening di tengah keributan cuaca dan sambaran petir. Ayah Arjuna hanya bisa terdiam tak menjawab pertanyaan istrinya itu. Istrinya memahami, makna keheningan barusan dan hanya bisa mengelus-elus pundak suaminya.
Semakin larut, cuaca belum menunjukkan kedamaiannya. Hingga menjelang subuh, awan lebat yang mengepung langit, perlahan-lahan terbuka dengan sayatan rembulan. Cuaca pun perlahan-lahan redah tak lama setelahnya. Arjuna yang masih terjaga dalam pulau mimpi, tampak terlihat kenikmatan tidur akibat kelelahan. Hari-harinya selepas lulus sekolah, ia habiskan untuk pergi ke ladang membantu ayahnya pada siang hari. Arjuna sendiri belum kepikiran untuk melanjutkan studinya di perguruan tinggi, tetapi sementara waktu ia memilih membantu ayahnya di sawah.
Selain itu, Arjun gemar membaca buku. Ia mengoleksi beragam buku bacaan, baik itu di bidang sastra maupun pergerakan sosial—yang ia dapati dari gurunya waktu sekolah dulu ketika mengajarkannya untuk mencintai pengetahuan.
Pagi menyapa, gunung-gunung terlihat indah dalam pangkuan matahari yang muncul dari timur. Desa pinggiran kota itu sangat menyejukkan. Iring-iringan suara kendaraan sudah meneror telinga sejak pagi—warga desa suda mulai beraktivitas.
Mata pencaharian warga, hampir seluruhnya memilih bertani. Memproduksi padi sudah menjadi tali pengikat parah pendahulu mereka dan anak cucu. Awalnya padi-padi yang dirubah menjadi beras selalu diekspor, di beberapa kabupaten. Tanah yang subur, membuat petani-petani di sana dapat memproduksi beras yang melimpah.
Desa itu menjadi daerah penyumbang ketersediaan panganan di beberapa kabupaten. Namun, sayangnya itu beberapa tahun kebelakang sebelum perusahaan nikel beroperasi di wilayah sekitar desa. Akibat pembukaan lahan di bagian hutan hulu sungai, menyebabkan banjiri ketika hujan deras—juga membawa lumpur dari hulu sungai. Sehingga menyebabkan lubang parit tersumbat. Sejak saat itu, hasil panen hanya bisa dinikmati untuk kebutuhan sehari-hari, tidak lagi diekspor sebagai pendapatan warga. Banyak warga yang tak mampu menahan dengan kondisi seperti itu, dan memilih untuk menjual tanah mereka pada perusahaan dan sebagian warga tetap mempertahankan tanahnya.
Desa ini dulunya memiliki warga yang tidak kaya namun sejahtera, tetapi dia tahun terakhir menurun drastis dari segi ekonomi maupun pembangunan. Tak ada kepedulian dari pemerintah sekitar, sehingga desa kini tak terurus. Hujan deras menuai angin, dan membawa banjiri semalam. Kini menyisakan genangan air dan sedimen lumpur. Namun, upaya untuk memperpanjang hidup, tentu selalu tumbuh di dada setiap warga di sana.
Pagi itu mereka kembali beraktivitas sehabis bencana, parah suami memilih untuk ke sawah dan kebun sedang parah istri membersihkan rumah. Arjuna yang kala itu masih tertidur pulas, ia kemudian dibangunkan oleh suara palu yang diketuk kan di dinding. Sontak di pikirannya ia bertanya-tanya siapa gerangan yang telah mengganggu tidurnya. Arjuna yang saat itu belum menyadari bencana semalam—akhirnya memutuskan untuk keluar. Saat ia turunkan kaki dari tempat tidur, dalam benaknya kembali melahirkan pertanyaan, ada apa di bawah sana mengapa kakinya terasa sejuk. Sontak ia terperangah melihat ada genangan air setinggi tumitnya.
Perlahan-lahan, langkahnya ia gerakan dengan santai menuju ke beranda rumah. Di sana Arjuna mendapati ayahnya sedang memperbaiki tiang penyangga teras yang semalam roboh akibat hantaman angin. Ayahnya belum menyadari kehadiran Arjuna yang saat itu terperangah di depan pintu melihat kerusakan teras rumah mereka. Ia pun memutuskan untuk menanyakan peristiwa apa yang terjadi semalam.
“Ya, seperti yang kamu lihat Arjuna, masih ada bekasnya” kata ayahnya.
“Tapi pak, kok aku enggak dibangunin”
“Tadi malam ibu mengetuk-ngetuk kamarmu” sahut ayahnya “Tapi kamu enggak bangun-bangun”
Arjuna hanya bisa menatap ayahnya yang sedang memperbaiki tiang penyangga. Ia menawarkan bantuannya tetapi, ayahnya enggan dengan bantuan Arjuna. Arjuna disuruh untuk mengecek sawah—memastikan apa banjir semalam juga membawa lumpur masuk ke sawah atau tidak. Ia pun bergegas mengganti pakaian untuk menuju sawah dengan berjalan kaki. Sawah mereka tak begitu jauh letaknya di belakang desa yang juga memiliki jarak sangat dekat dengan perusahaan nikel. Dalam perjalanannya ia melihat jalan di sekitar desa sudah diisi dengan beberapa wajah parah calon legislatif yang meminta dukungan.
Mengingat saat itu merupakan momen pesta demokrasi yang tak lama lagi akan berlangsung. Salah satu wajah yang terpasang di baliho, ada tetangga rumah Arjuna yang bernama pak Risman. Pak Risman terkenal dengan sikap sinis dan sulit berinteraksi dengan warga sekitar—hanya kepada orang-orang partai dan teman bisnisnya saja. Beberapa saat kemudian Arjuna akhirnya sampai di sawah mereka, ia terperangah karena benar bahwa banjir membawa lumpur. Arjuna berkali-kali mengutuk-ngutuk perusahaan besar yang ada di belakangnya itu. Dengan penuh kesedihan ia berlari melewati sawah warga lainnya ke tepi sungai dan duduk sendirian di sana untuk meredamkan kesedihannya itu.
Arjuna dengan keheningan begitu lama. Seketika terdengar langkah kaki seseorang menginjak dedaunan dari belakang Arjuna. Langkah itu semakin dekat, tapi Arjuna tak menghiraukan itu. Ia tak ingin memedulikan siapapun saat itu, seketika suara itu terhenti. Dan seseorang menepuknya dari belakang. Arjuna kemudian membalikan punggungnya dan mendapati sosok perempuan yang tak lain adalah sahabatnya bernama Kamilah yang tengah berdiri di sana.
Sebelumnya ia melihat Arjuna yang kala itu berlari melewati sawah mereka, sehingga Kamilah memutuskan untuk mengikutinya dari belakang. Ketika itu Kamilah juga bernasib sama dengan keluarga Arjuna, yang sawah beserta hasil panen mereka dan lainnya tidak dapat terselamatkan. Namun Kamilah adalah sosok perempuan yang sudah terbiasa dengan hal-hal seperti itu berkat didikan orang tuanya dan tidak begitu putus asah. Melihat Arjuna yang masih terdiam, Kamilah mencoba untuk mengajaknya bicara, ia tahu bahwa Arjuna sedang kecewa akibat sawah mereka yang teredam banjir semalam, karena Arjuna adalah anak yang paling bekerja keras di sawah.
“Sesuatu yang telah terjadi, tidak mungkin kembali ketika kita menjawabnya dengan kesedihan dan amarah” kata Kamilah. Arjuna belum bergeming, dengan ungkapan Kamilah barusan. Ia tetap dengan sikap dan ekspresi sinisnya.
“Jika yang lain menjadi api, kamu harus menjadi air yang tenang Arjuna!”
“Jangan menilai air selalu tenang, kamu tidak tahu seberapa kuat pusaran di dalamnya” Arjuna menyahut, ungkapan sahabatnya itu. Namun Kamilah tetap mengajaknya bicara untuk menghindari kesedihannya.
“Bercerita adalah terapi paling sederhana untuk meredakan duka” kata Kamilah “Maka ayo tuangkan keresahanmu”
Terus dipaksa oleh Kamilah sahabatnya, Arjuna pun akhirnya menyampaikan keresahannya hari itu. Sawah yang gagal panen membuat kerja keras mereka sia-sia. Desa yang menjadi penyumbang kebutuhan pangan, kini harus menerima resiko untuk menjadi lebih parah dari sebelumnya. Arjuna mengutuk-ngutuk perusahaan, menurutnya perusahaan telah merampas semua yang di harapkan para petani dan warga di sini.
Parah perusahaan datang menjanjikan lapangan pekerjaan dan menawar-nawar lahan warga dengan harga yang tak sesuai. Namun, kehadiran perusahaan malah memperparah kondisi ekonomi warga. Lantas dimanahkah peran pemerintah untuk mengatasi masalah ini? Tampaknya mereka hanya sering berbagi kue kekuasaan di atas meja perjanjian. Tanpa peduli pada masyarakat pinggiran yang terdampak dari kebijakan sepihak ini. Hari itu banyak cerita di antara dua sahabat itu. Arjuna dan Kamilah menghabiskan waktu siang itu di tepi sungai, sambil menuangkan semua yang ingin disampaikan. Hingga waktu sore tiba, mereka berdua beranjak dari sungai untuk pulang ke rumah.
***
Di depan rumah mereka, Arjuna sontak terperangah melihat sosok lelaki yang tidak asing baginya—Pak Risman, seseorang dengan karakter individualis tengah duduk bersama ayahnya di beranda rumah. Dalam benaknya, Arjuna berpikir bahwa ia menemukan dua peristiwa yang cukup melahirkan banyak tanda tanya di hari itu—mengenai sawah mereka yang gagal panen dan sikap pak Risman yang tiba-tiba datang ke rumahnya. Sambil menyeruput kopi dan bercengkrama dengan ayah Arjuna, pak Risman juga melemparkan senyuman pada warga yang lewat tak sengaja menyaksikan fenomena itu. Tiang penyangga teras yang patah termakan usia, kini telah diganti dengan yang baru, bantuan itu datang berkat inisiatif dari pak Risman sejak siang.
Tanpa mengganggu pembicaraan antara ayahnya dan pak Risman saat itu, Arjuna bergegas masuk kedalam rumah. Ia mencari ibunya yang saat itu menyiapkan jamuan buat tamu mereka pak Risman, untuk menanyakan apa yang terjadi sebenarnya.
“Apa yang terjadi bu? ” tanya Arjuna.
“Tadi setelah kamu ke sawah, pak Risman tak sengaja melihat ayahmu memperbaiki teras” kata ibunya “tak lama, pak Risman menawarkan bantuan balok-balok buat diganti dengan yang baru, ya, bagus kan sayang kalau enggak kita nerima”
Penuh kebingungan dan keanehan, dalam benaknya ada sesuatu yang mengganjal perihal itu. Seseorang yang sulit berinteraksi, tetapi biasa berubah begitu saja. Arjuna pun teringat dengan baliho yang terletak tak jauh dari rumah mereka—salah satunya terpasang wajah pak Risman yang ingin berkompetisi dalam ajang pemilihan legislatif dibeberapa bulan akan datang.
“Mungkinkah tujuan pak Risman membantu untuk meminta simpati kepada kita demi tujuannya ke depan?” kata Arjuna
“Kamu jangan suudzon Arjuna!” ibunya menimpal
“Bukan suudzon bu. Jelas-jelas pak Risman orangnya susah sekali berhubungan dengan masyarakat biasa” tegas Arjuna “kan ibu tahu sendiri orangnya seperti apa”
“Sudah-sudah, do’ain aja biar ia benar-benar berubah”
Ibunya akhirnya meninggalkan Arjuna untuk mengantar jamuan pada pak Risman. Arjuna hanya terdiam dan tak menghiraukan hal itu lagi. Baginya sekarang ia harus bekerja lebih keras di sawah, mengingat tahun ini mereka gagal panen yang disebabkan oleh hujan deras semalam. Hari-hari berikutnya ia menjalankan aktivitas seperti biasanya.
Pada siang hari pergi ke sawah dan sesekali bersenda gurau dengan Kamila sahabatnya mumpung sawah milik mereka tak berjauhan—malamnya ia memilih mengurung diri di kamarnya setelah makan malam untuk membaca buku.
Semenjak hari yang penuh keanehan terjadi pada beberapa minggu kebelakang tentang perubahan sikap pak Risman. Sekarang Arjuna lebih sering melihat pak Risman mendatangi rumah warga. Kadang memberi bantuan, kadang hanya bersilaturahmi dengan maksud untuk meminta simpati warga terhadap niatnya. Warga yang tak mengenyam pendidikan, justru menyambut baik dari hal-hal yang bersangkutan dengan kepentingan pak Risman. Mereka mengganggap mungkin pak Risman benar-benar bisa membawa masyarakat untuk menuntut hak-haknya. Namun di lain sisi Arjuna mengganggap orang-orang seperti pak Risman itu hanya pencitraan.
***
Hari-hari menjelang pemilu semakin dekat, bukan hanya pak Risman yang memainkan peranya sebagai salah satu bakal calon anggota legislatif—beberapa diantaranya juga melakukan demikian. Kampanye politik dengan menyampaikan visi misi, tentang perubahan. Pak Risman tampaknya menuai pendukung yang bisa membawanya pada satu kursi legislatif, berkat perannya yang ia mainkan sebelumnya. Bahkan orang tua Arjuna menjadi salah satu pendukung pak Risman. Arjuna tak acuh dengan pemilu, baginya momen itu hanya mengulang kesalahan orang-orang berkuasa.
“Desa kita memproduksi beras yang bisa diekspor pada beberapa kabupaten kota; tapi itu dulu sebelum banjiri melanda” ucap pak Risman bila bertemu warga “ketika saya terpilih, dengan niat yang saya tanamkan, saya akan membawa maslah ini untuk mencari jalan keluarnya”
Banyak sorakan gembira terdengar menyenangkan, para warga mendukungnya. Berharap ia benar-benar membawa keluh masyarakat menemukan solusi atas masalah yang menimpa mereka. Sebab selama ini pemerintah bahkan hanya memberi bantuan itu pun tidak memenuhi standar kehidupan sehari-hari. Maka momentum pemilu kali ini, harapan menuju perubahan terus menyelimuti jiwa para warga di sana.
***
Hari yang ditunggu-tunggu pun akhirnya tiba—momentum pesta demokrasi pemilu 5 tahunan. Dan pak Risman berhasil merebut satu kursi di DPRD berkat banyak dukungan warga. Ia menggelar acara syukuran di rumahnya, dan berterima kasih kepada pendukungnya yang telah setiap memilih dan mempercayakannya untuk menjadi anggota DPRD. Acara syukuran itu berlangsung meriah, orang tua Arjuna pun berada di sana. Namun Arjuna enggan datang di acara syukuran itu, ia memilih pergi ke sawah, hari itu. Kamila sahabatnya juga tak datang seperti teman-teman mereka yang lain mengikuti orang tua mereka dan merayakan kemenangan pak Risman.
Tiga bulan berlalu, hujan deras kembali melanda desa sejak sore. Gemuruh suara langit tak tertahankan, mereka seperti mendapatkan amukan dari kerajaan langit. Hujan yang tak terhitung jumlahnya itu, membuat sungai di desa kembali naik. Air beserta lumpur membanjiri desa, perasaan cemas membuat Arjuna tak bergeming memandang hujan lewat jendela rumah. Ia tak menerka-nerka apakah kejadian itu membuat merek gagal panen lagi atau tidak. Sebab hal itu pasti terjadi, karena hutan di hulu sungai telah ditebang, konsekuensinya tetap seperti itu—membawa lumpur menutupi sawah warga.
Keesokan harinya, hujan telah mereda tetapi mendung masih menyelimuti langit. Arjuna bergegas menuju sawah, dan tentunya benar sawah mereka dan milik warga tergenang banjiri dan dipenuhi lumpur—padi yang mestinya sudah bisa dipanen, kini kembali gagal. Dengan perasaan gelisah ia kembali ke rumah tanpa harapan dan putus asa. Di tengah perjalanan pulang, Arjuna bertemu pak Risman menggunakan mobil barunya melewati orang dengan menutup kaca mobilnya. Sontak amarah Arjuna mencuat, ketika melihat sikap pak Risman kembali seperti dulu dan tampak tak acuh dengan orang-orang sehabis terkena musibah.
“Dasar pembohong!” teriak Arjuna sekaligus mengagetkan orang di jalan
“Kok pak Risman seakan-akan enggak peduli ya” kata seorang warga “padahal kan kita pilih dia untuk menjadi wakil kita, dan bisa beritahu pemerintah kalau kita lagi susah”
“Pak Risman orangnya emang seperti itu, dia peduli ketika ada maunya saja” Arjuna menimpal “dulu dia berjanji membawa masalah-masalah begini di pemerintahan, tetapi ketika terpilih malah lupa”
“kok ada benar juga, ya, dia berubah seperti sikap dulunya yang enggak peduli sama orang-orang”
Sikap tak acuh pak Risman membuat banyak warga sadar, bahwa pemilu tidak membawa mereka menuju perubahan. Melainkan pemilu hanya melahirkan kesalahan yang sama dari orang-orang baru. Kehendak menjalankan visi dan misi hanyalah janji saat kampanye untuk mendapatkan suara yang lebih banyak lagi. Maka warga kini menanam prinsip mosi tidak percaya terhadap pemerintah dan memilih melawan dengan aksi masa menuntut perusahaan angkat kaki dari desa mereka.
Oleh : Fikram Guraci
(Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia)
Discussion about this post