Mediasemut.com – Kehidupan petani di negeri ini sungguh miris, segala yang mereka telah tanam dan rawat harus direbut paksa oleh negara bersama kaki tangannya dalam sekejap. Tanah moyang yang diwariskan untuk anak cucu diklaim sepihak oleh negara dengan dalih “tanah milik negara”. Nampak begitu kejinya negara mempermainkan nurani para petani dengan sebilah pisau yang bernama kebijakan atau sistem. Hak hidup petani yang sedari awal telah dihiasi dengan macam-macam aneka tanaman hingga hampir jelang panen atau yang tinggal menunggu hari harus menerima takdir yang cukup mengais. Aparat berulah, mereka lancarkan intimidasi, kekerasan, dan bahkan penangkapan hanya karena ingin dilahan itu ada tambang atau kelapa sawit milik kapitalis, senapan dan bahkan sepatu lars mereka tancapkan kepada mereka para petani yang hendak mempertahankan tanahnya. Sekelompok kaki tangan negara yang disuruh ini tak segang-segangnya untuk memejarakan para petani, mereka tak mengenal, baik leleki maupun perempuan. Padahal, tanah yang mejadi ruang hidup mereka ini adalah kepunyaan para moyang yang telah diwariskan kepada mereka atau juga sebagai wilayah adat. Namun negara mengabaikan itu bahkan melanggar hukum-hukum adat yang berada di wilayah yang akan mereka serbu. Pembangunan atau kesejahteraan memang selalu menjadi petaka dan mimpi buruk bagi rakyat, karena jelas dan terbukti hingga hari ini rakyat masih saja terkung-kung dalam derita yang itu diciptakan langsung oleh negara dan para kapitalis melalui kebijakan dan sistem yang mereka bikin dan gaunkan.
Petani adalah penopang utama bagi tumbuhnya ekonomi bangsa. Petani adalah mesin penggerak yang harus tetap ada di negeri ini, biar lini ekonomi bangsa terus berjalan dan merata di tengah nadi kehidupan masyarakat. Bukan tambang, karena kapitalis akan lebih unggul dan untung ketimbang masayarakat, apalagi mereka yang berkehidupan sebagai petani. Petani adalah seseorang atau bahkan sekelompok orang yang rutinitasnya bergerak pada sektor pertanian, mereka akan mengelola setiap lahan atau tanah yang mereka hendak tanami itu dengan harapan untuk memperoleh hasil dari tanaman tersebut agar selanjutnya digunakan sebagai pemenuhan kebutuhan sehari-hari maupun dengan menjualnya kepada orang lain. Hampir sebagian masyarakat di semua provinsi dan daerah bahkan kota di Indonesia ini berprofesi sebagai petani, baik yang muda, tua, lelaki, dan bahkan perempuan. Profesi sebagai petani adalah mata rantai kehidupan yang telah berlangsung dari sejak dahulu, apalagi di wilayah pedesaan yang belum tersentuh sama sekali dengan hiruk pikuk kota. Namun sayangnya, negara tak pernah memberikan mereka ruang ekonomi yang dapat mereka jadikan perahu, agar hasil-hasil yang mereka tanami dan panen ini bisa terjual dan dijangkau di semua daerah. Negara tak pernah memikirkan ini, karena yang hanya ada di tubuh mereka adalah perampasan, kerusakan, dan pembabatan, bahkan intimidasi. Demi maunya kapitalis, negara akan berbuat semena-mena dengan menghadirkan aparat untuk mengusir para petani dari rumah atau tanahnya sendiri. Fenomena ini tak lagi asing di negeri ini. upaya penyudahan konflik agraria dan perlindungan nasib petani yang seharusnya diberikan oleh negara tak ada sama sekali, malahan sebaliknya, petani dipaksa pergi dengan ancaman akan ditangkap dan dipenjara.
BACA JUGA : Pemda Halsel Bersama Kodim 1509/Labuha Panen Perdana
Hal serupa kini terjadi di Jambi pada kamis 20 Juli 2023, seperti yang dikutip dalam kanal Facebook Kpa Wilayah Jambi. Tepatnya di Dusun Pematang Bedaro, Desa Teluk Raya, Kec. Kumpeh Ulu, Muaro. Warga Desa Teluk Raya yang sedang dengan giatnya melakukan kegiatan dalam rangka menyambut 1 muharam (tahun baru islam) harus terpaksa dibubarkan secara paksa oleh aparat kepolisian dari Polda Jambi. Ratusan anggota polisi itu langsung datang dan mengepung serta membubarkan warga yang sedang membaca surah yasin, mulai dari para ibu-ibu, anak-anak, dan laki-laki. Kegiatan perayaan tahun baru islam ini sebagai harapan dan doa dalam memperjuangkan hak atas tanah yang telah dirampas oleh PT Fajar Pematang Indah Lestari (PT FPIL). Namun, semuanya harus tandas akibat ulah aparat yang tak punya rasa, dalam konflik ini juga sekitar 29 orang harus di tangkap, 20 diantaranya adalah laki-lak, 7 orang perempuan, dan dua orang anak kecil yang berusia 6 tahun. Beberapa diantara mereka mengalami penganiayaan yakni diinjak, dipukul, ditampar, dan bahkan ada yang dilarikan ke rumah sakit dengan tangan masih terborgol masuk ke ruang ICU. Bahkan seorang ibu hamil harus pingsan saat kejadian tersebut. Konflik agraria antar warga dan pihak PT FPIL telah terjadi dari sejak tahun 1998 hingga sampai saat ini. Peristiwa yang terjadi hari ini makin memperpanjang rentetan konflik agraria di Indonesia. Dikutip dari kanal Instagram Greenpeaceid. Tercatat selama tahun 2022 telah terjadi 212 konflik agrari, dan 497 kasus kriminalisasi dialami oleh mereka yang memperjuangkan hak atas tanah di berbagai wilayah.
Kejahatan di lahan petani yang terus menerus terjadi di bangsa ini telah menjadi sebuah jejak dan catatan hitam yang mesti segera dihentikan oleh negara dan aparat. Sebab, konflik agrari yang hari ini terjadi di Jambi maupun kasus-kasus konflik antar petani dan pihak perusahaan di berbagai wilayah di Indonesia pada tahun-tahun sebelumnya, ternyata yang paling menderita dan yang paling menerima dampak dari konflik ini adalah petani. Mereka tidak saja menerima intimidasi, penangkapan, dan bahkan pemenjarahan, namun juga kehilangan ruang hidup atau hak atas tanah yang telah menghidupi mereka sedari duluh. Negara atau pihak perusahaan tidak pernah menimbang ini sebagai soal yang penting bagi masa depan warga. Demi untung dan kepentingan, petani harus berteriak kesakitan akibat perampasan ruang hidup dan perampokan hak atas tanah yang mereka punya. Negara hanya tutup telinga, bahkan membantu para kapitalis-kapitalis itu dengan memperhadapkan petani dan warga dengan aparat. Intimidasi marak terjadi, petani tak punya kuasa hingga yang mereka rasai hanya kesakitan dan pasrah yang tak selaras. Makin memeperparah dan memperpanjang, mau sampaikan konflik agraria yang korbannya adalah petani ini bisa berakhir. Seharusnya para petani-petani bebas dengan segala yang mereka mampu, biarlah mereka menjadi tuan atas diri mereka, biarlah mereka terus menanam dan memanen. Negara tak perlu mengatur mereka dengan sistem yang sepihak atau kebijakan yang hanya menguntungkan beberapa. Negara hanya perlu menyudahi persoalan ini dengan kebijakan yang setara, yang arahnya juga demi dan utuk rakyat, bukan hanya untuk para korporasi. Konflik bisa diselesaikan tanpa harus ada perselisihan fisik, negara bisa mengambil alih dengan menyudahinya baik-baik bersama para petani yang paling terdampak. UUD Reforma Agraria harus tetap bernyali dan tepat pada yang milik. Harus tegak dan adil bagi semua yang memiliki cangkul.
**) Ikuti berita terbaru Mediasemut.com di Google News klik link ini dan jangan lupa Follow
Oleh: Muhammad Hatta Abdan (“Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Khairun Ternate”)
Sekian dan Selamat Membaca.!!
Discussion about this post