Beberapa hari lalu, beredar di WatsApp group video podcast dari salah satu bakal kandidat yang entah nanti jadi maju bertarung atau tidak di Pilwako Tidore Kepulauan (Tikep) 2024. Orang ini kemarin sempat dilaporkan ke pihak kepolisian atas kasus dugaan rasisme ( Samsul Rizal Hasdy), dalam petikan podcast yang diisi Samsul tersebut dirinya sebagai seorang Soekarnois dan mengklaim dirinya paling paham ajaran Bung Karno, karena itu penting rasanya meluruskan beberapa hal agar publik tidak disesatkan dengan narasi-narasi yang sebenarnya anomali antara kata dan perbuatan. Barangkali itu kepentingan paling dasar mengapa tulisan ini ada.
Tulisan ini akan dimulai dari akhir wawancara podcast tersebut. Misalnya klaim Samsul sebagai seseorang yang paham ajaran-ajaran Bung Karno yang kemudian diistilahkan sebagai Soekarnoisme. Hemat saya pernyataan itu cukup tergesa-gesa dan berantakan, kekeliruan pertama. Seorang Soekarnois pasti paham konsep ajarannya yang paling dasar. Bahwa semangat perlawanan terhadap penjajah dan kapitalisme yang kemudian menjadi sebuah ideologi Marhaenisme adalah buah dari kontemplasi dan refleksi atas penderitaan rakyat dibawah kolonialisme. Bung Karno tidak menggunakan perjuangan kelas dan diktator proletariat akan tetapi berusaha menawarkan sosio-demokrasi dan sosio-nasionalisme. Yakni demokrasi yang bertumpu pada pemufakatan masyarakat serta pemerataan dibidang ekonomi dan sosial. Nasionalisme Soekarno tumbuh dari rasa cinta pada manusia dan bertumpu pada kemanusiaan, serta menjadi bagian dari perjuangan umat manusia di dunia melawan penindasan.
Jika ajaran-ajaran Soekarno tumbuh dari rasa cinta pada manusia dan kemanusian sangat mustahil seorang yang merasa dirinya Soekarnois bisa berpikir rasisme, mengecilkan suatu kelompok atau suku tertentu hanya karena syahwat berkuasa semata. Tak ada ajaran Bung Besar dalam catatan manapun yang merendahkan manusia lain, jangan karena mau merayu PDI-Pejuangan seseorang kemudian menyebut dirinya Soekarnois, gimmick yang cukup murahan. Manusia yang suka membangun klaim, Erick From menyebutnya homo esperans atau manusia yang berharap, sehingga kadang manusia menghalalkan segala cara untuk memenuhi harapannya. Itulah seringkali tamak, pongah dan congkak untuk sampai pada klimaks harapan, sementara ada orang lain yang diinjak-injak disitu. Saya menyebut ini komedi awal tahun menuju tahun politik yang cukup garing.
Kekeliruan Samsul yang kedua, bahwa ia gagal membaca peta politik lokal di Tikep, tapi sebernanya bisa kita maklumi bersama, karena orang ini sudah sangat lama tidak hidup di kampung halamannya, lupa juga halaman ke berapa. Bahkan ketika dia menyebut di OBA tidak ada pasar-pasar bagi rakyat yang memadai yang telah dibangun sejak kepemimpinan AMAN, berarti fix, orang ini belum pernah menginjakkan kakinya khususnya ke OBA Selatan, sejak Kota Tidore Kepulauan ditetapkan sebagai kota otonom hampir dua dekade pada april 2023 nantinya. Sebab itu, ia sulit menemukan gambaran yang utuh tentang kemajuan Tidore Kepulauan hari ini dan kekuatan Muhammad Sinen (MS) di hati rakyatnya.
Jika kita mau jujur, Samsul bukan lawan sepadan, membandingkan ketokohan MS denganya sungguh tidak apple to apple. MS punya track record yang jelas di dunia politik, memulai karier politik dengan partai PDI-Perjuangan dari level paling pertama (ranting) kemudian cabang hingga hari ini menjadi ketua DPD Provinsi adalah perjuangan panjang tak kenal lelah, beliau telah memenangkan hampir seluruh pertarungan. Tiga periode terpilih sebagai wakil rakyat dan 2 periode menjadi wakil walikota merupakan catatan karier politik yang brilian. Bagi Muhammad Sinen politik bukan sekadar tugas menghimpun dan menggunakan kekuasaan, lebih dari itu dunia politik adalah wadah pergulatan tempat orang-orang menemukan keadilan dan kesetaraan. Politik bermakna tanggungjawab, sebuah panggilan moral yang lebih tinggi bukan semata-mata untuk diri sendiri. Karena itu MS tak pernah lelah masuk kampung ke kampung guna memastikan kepercayaan warganya tak pernah salah alamat memilih dirinya. Optimis boleh saja asal tahu batas menginsafi. Muhammad Sinen bukan tipikal pemimpin arogan apalagi otoriter seperti yang dituduhkan. Kekuataan MS pada kesederhanaan dan kesahajaannya, ia tidak berjarak dengan rakyatnya tak banyak pemimpin yang bisa seperti itu. Jika Samsul menduga MS menggunakan instrument kekuasaan secara berlebihan untuk menunjukan kekuatannya sungguh dugaan yang sangat keliru, kekuatan MS murni kekuatan rakyat. Muhammad Sinen adalah politisi yang tangguh dan apa adanya, seluruh langkah politiknya dihitung benar, ahli dalam strategi dan taktik di lapangan, matang mengambil keputusan, karena itu siapa saja yang diusungnya bisa dipastikan sanggup memenangkan pertarungan.
Barangkali Samsul harus belajar pada para pendahulu, lawan-lawan politik yang kalah ketika berhadapan dengan MS, sehingga tidak acak menarik konklusi akan rumitnya peta politik lokal di Tikep. Jika tidak mau belajar, maka Samsul akan bernasib sama. kelemahan paling dasar dua lawan MS di Pilkada kemarin yang kalah adalah mereka cukup lama meninggalkan Tidore Kepulauan. Padahal sebuah kota, selalu bergerak secepat peluruh, interaksi ide lekas bertransformasi, tantangan kita lebih kompleks dewasa ini sebagai manusia kota. Harari, menyebut dunia hari ini sedang mengalami revolusi kembar infotek dan biotek. Ketika datang mencalonkan diri merasa paling tahu tentang Tikep dibandingkan orang-orang yang sedang menjalani kehidupan disini. Argumentasi dibangun bahkan terkadang melampaui ekspetasi, fakta-fakta diabaikan begitu saja untuk mengelabui publik, bahwa seolah-olah kandidat petahana tidak bekerja dengan baik.
Ketika Samsul bicara soal kejayaan Tidore masa lampau, dia lupa Wakil Presiden negara dan kota-kota dunia yang masuk jaringan pelayaran Magellan (GNMC) adalah Walikota Tidore Capt Ali Ibrahim, dan perayaan puncak 500 tahun mengenang ekspedisi keliling dunia pertama dilaksanakan di Tidore sebagai tuan rumahnya. Ketika Samsul bicara soal perjanjian Toerdesillas tahun 1494 yang membagi dunia di luar Eropa menjadi duopoli eksklusif antara Spanyol dan Portugis kemudian di ratifikasi menjadi perjanjian Zaragosa 1529 karena kehadiran Spanyol di Tidore, kemarin dibawah kepemimpinan Capt Ali Ibrahim dan Muhammad Sinen baru usai melunasi amanah sejarah, sukses menggelar ivent bertaraf internasional Sail Tidore bertepatan dengan 500 tahun Circumnavigation Magellan City, dimana Tidore mendapat kehormatan sebagai tuan rumah Sail Indonesia ke 12. Sebuah kebanggaan yang luar biasa.
Hampir 50 ribu penggunjung yang berkunjung ke Tidore saat ivet Sail berlangsung, ekonomi kecil dan menengah di Tidore tumbuh dengan baik ditengah-tengah pelambatan ekonomi global akibat pamdemi. Samsul sewaktu Sail Tidore berlangsung mungkin tak datang berkunjung ke Tidore hingga tak bisa menyaksikan lansung geliat ekonomi yang tumbuh dan berkembang hingga hari ini di kawasan Tugulufa. Pintu-pintu pelabuhan masuk Tidore dan OBA juga mulai dipercantik dan tampak megah. Sistem dan bangunan kesehatan kita terus membaik, akses pendidikan gratis juga sudah dinikmati warga Tidore sejak lama, inflasi di kota ini juga tiap tahunnya selalu terkendali, ruang-ruang publik terus dibuka, pembangunan kian terintegrasi dan sustainnable.
Meski begitu, tak ada kepemimpinan yang sempurna dibawah kolong langit, selalu ada kurangnya, kritik selalu penting sebagai nutrisi untuk bisa mengontrol kekuasaan agar terus berada pada trahnya. Sejauh ini kepemimpinan AMAN terus mengupayakan agar kekuasaan yang didapatkan semata-mata untuk menghadirkan city of hope bukan city of fear bagi warganya, mengabaikan siasat kuasa dan suksesi di tahun-tahun politik dengan tetap konsisten pada visi misi mewujudkan masyarakat sejatera menuju Tidore jang foloi sebagaimana cita-cita kita bersama.(*)
Discussion about this post