MEDIASEMUT.COM — Sejarah peradaban umat manusia yang begitu panjang, tentu tidak terlepas dari berbagai perjuangan makhluk hidup untuk terus bertahan dalam pusaran kehidupan. Baik itu berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan, jantan maupun betina. Seiring dengan perkembangan zaman dari fase ke fase tentu menghadirkan berbagai persepsi dalam setiap pemikiran individu tentang berbagai anomali yang terus meretas di setiap waktunya. Sehingga menjadikan kehidupan memproduksi sistem hierarki antara satu dengan yang lain. Hal ini, tentunya tidak terlepas dari distorsi antara laki-laki dan perempuan yang di mulai sejak munculnya Adam dan Hawa. Hubungan yang dibangun antara umat manusia spesifiknya laki-laki dan perempuan akan mencerminkan dinamika sosial dalam kehidupan sehari-hari. Kedudukan perempuan dalam pelbagai aspek kehidupan selalu dikaitkan dengan prasangka gender yang lahir karena oposisi jenis kelamin. Paradigma terkait dengan superioritas laki-laki dan inferioritas perempuan sudah tersosialisasikan secara luas dalam kalangan masyarakat. Seiring dengan itu, perempuan kerap dilekatkan dengan objektifikasi seksual yang muncul guna untuk melanggengkan sistem patriarki. Hampir di seluruh peradaban dunia, perempuan senantiasa dijadikan objek, ditempatkan dalam posisi subordinat dan menjadi “alat” untuk memuaskan nafsu laki-laki.
Sejarah dunia pada umumnya, dan spesifiknya di Indonesia sendiri, seharusnya bisa membuktikan bahwa peradaban selalu maju kedepan bukan mundur kebelakang. Namun dalam realita yang ada, kita seakan telah mengkhianati tanggung jawab terhadap sejarah. Hal yang menarik perhatian penulis terkait dengan bentuk objektifikasi perempuan salah satunya adalah penggunaan istilah “Tobrut” yang saat ini tengah ramai digunakan baik pada kalangan anak-anak, remaja, hingga dewasa. Istilah Tobrut merupakan akronim dari kata “toket” (payudara) dan “brutal”, dalam artian mengacu pada penggambaran fisik perempuan dengan cara yang tidak senonoh. Kata ini mencerminkan penekanan vulgar terhadap tubuh perempuan juga memperkuat streotipe karena digunakan untuk merujuk pada ukuran payudara perempuan dengan konotasi negatif. Istilah ini merupakan bagian dari masalah sosial, di mana tubuh perempuan sering dilihat sebagai objek untuk kesenangan dan pengawasan pria saja. Ekspresi linguistik ini adalah satu bentuk dehumanisasi dan membuat perempuan seringkali kehilangan hak-haknya untuk bisa mengaktualisasikan diri secara bebas tanpa harus dihantui oleh objektifikasi tubuh yang pada dasarnya merupakan jalan pikiran yang dimiliki oleh kaum laki-laki.
Istilah ini telah tersosialisasikan hampir di seluruh daerah yang ada Indonesia. Yang tak terlepas dari pengamatan penulis adalah terjadi di Maluku Utara khususnya di daerah penulis. Praktik pelecehan verbal melalui istilah “tobrut” ini kerap terdengar di lingkungan sekitar. Masyarakat Maluku Utara juga telah mengonsumsi istilah tersebut. Tidak hanya pada kalangan remaja maupun dewasa, anak-anak pun turut mengumandangkan istilah ini. Seseorang secara refleks akan menyematkan istilah “tobrut” kepada seorang perempuan yang ditemui dijalan atau yang berada disekitarnya. Hal ini tentunya mencerminkan dan memperburuk peradaban modern di Indonesia. Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Siti Aminah Tardi, menyampaikan penggunaan istilah “tobrut” merupakan salah satu bentuk unwelcome attention atau unwelcome behaviour, yaitu perhatian atau perilaku bersifat seksual yang tidak diinginkan seseorang. Perilaku seksual tersebut dapat berupa pernyataan, gerak tubuh, atau aktivitas yang tidak patut yang menyasar ke tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya. Sehingga tidak menutup kemungkinan istilah yang bisa dikatakan gaul ini akan memberikan dampak psikologis pada diri seorang perempuan. Karena penampilan fisik mereka pun harus dijadikan sebagai ajang penilaian yang bersifat seksis di masyarakat. Juga tidak sedikit yang menjadikan hal ini sebagai bahan lelucon seperti penggunaan istilah “tobrut” tersebut.
Representasi dalam Media Sosial
Perempuan dan tubuhnya selalu menjadi hal yang menarik di media. Penggunaan istilah “Tobrut” ramai terpampang di dunia maya, baik ditemukan dalam platform tiktok, facebook, instagram, dan lain sebagainya. Hal ini dapat dilihat dari berbagai bentuk ujaran atau komentar dalam foto maupun video yang diunggah perempuan pada platform tertentu. Tak jarang terlihat komentar-komentar yang bersifat seksis. Parahnya lagi, tidak hanya laki-laki saja yang menyebutkan istilah tersebut di kolom komentar, akan tetapi ada juga perempuan yang menyematkan kata tersebut yang ditujukan kepada perempuan yang dirasa memenuhi kriteria “tobrut” ini. Sangat disayangkan, bahwa eksistensi perempuan dalam media sosial hanya dipandang pada penampilan fisiknya saja. Tidak bisa dipungkiri bahwa pandangan seksis laki-laki jelas mengarahkan mereka untuk mengamati dan menilai postur tubuh perempuan. Dan pada dasarnya laki-laki cenderung tertarik kepada perempuan yang memiliki tubuh ‘sexy’ seperti memiliki payudara yang besar dan lekuk tubuh yang jelas terlihat. Sehingga “tobrut” disukai bahkan diperebutkan layaknya barang. Objektifikasi tubuh perempuan di media sosial seakan tak pernah pudar. Perempuan terus-menerus dipandang sebagai objek yang dapat dinikmati. Tubuh perempuan seakan ditelanjangkan melalui media sosial dengan terus digunakanya istilah-istilah yang berkonotasi untuk menilai seksualitas seseorang. Ironinya, istilah “tobrut” ini seakan telah dijadikan trend baru dan populer bahkan dinormalisasikan penggunaanya dalam berbagai platform. Salah satunya ialah sering terlihat dalam aplikasi Tiktok. Di mana platform ini hampir selalu memproduksi trend baru seperti dance kekinian. Dalam unggahan video dance viral yang selalu membanjiri Fyp, perempuan seakan berlomba-lomba untuk menunjukan kualitas tubuhnya. Namun, penulis lebih berfokus pada kolom komentar, yang mana kebanyakan warganet juga turut memberikan berbagai ujaran komentar yang hanya berfokus untuk menilai bentuk tubuh perempuan seperti “ih,tobrut”, “gede amat” dan berbagai ujaran lainya. Ini membuktikan bahwa warga yang di istilahkan dengan +62 ini minim moral dan kurangnya pendidikan terkait dengan seksualitas tubuh perempuan.
Tidak hanya itu, adanya pelabelan yang dibuat oleh sebagian orang bahwa tobrut merupakan “cewe idaman” karena memiliki bentuk fisik spesifiknya area dada yang lebih menonjol dari perempuan lainya. Sehingga istilah tobrut tergeser pemaknaanya yang pada awalnya sangat buruk menjadi sebuah kebanggan tersendiri bagi sebagian perempuan di media sosial. Hal ini dapat dilihat dari tindakan sebagian perempuan yang secara sadar memposting video/foto dengan menggunakan tagline “cewek tobrut”. Padahal, jika kita mampu memahami bahwa “Tobrut” berasal dari budaya seksis yang tidak lepas dari masyarakat kita. Dan ini kerap dijadikan bahan guyonan oleh masyarakat yang sudah jelas tentu merugikan perempuan. Namun, uniknya justru masyarakat kita, khususnya perempuan tidak mengerti bahwa istilah seksis tersebut sangat merugikan perempuan. Melalui fenomena ini, tubuh perempuan menjadi sarana konsumsi industri. Hal ini terjadi karena pada hari ini, masih banyak sekali perempuan yang sudah terhegemoni dan didominasi oleh kapitalisme. Fakta ini juga diperkuat oleh Gramschi, bahwa hegemoni tercipta ketika sebuah ideologi dipaksakan sedemikian rupa, tetapi mendapat persetujuan dan didukung oleh mayoritas secara sadar(Strinati, Dominic, 2010).
Pencitraan Negatif Terhadap Tubuh Perempuan
Penggunaan istilah-istilah yang menyangkut perempuan, mendorong diskriminasi dan stereotipe gender di masyarakat. Seperti penggunaan istilah “tobrut” yang ditujukan pada perempuan, ini kerap dimaknai sebagai satu bentuk upaya perempuan untuk memancing hasrat laki-laki. Padahal semua itu hanyalah pengaruh dari pikiran seksis laki-laki. Faktanya, manusia merupakan mahkluk yang di tubuhnya dikendalikan oleh berbagai macam hormon. Seperti yang dikatakan Simone De Beauvoir (1989), bahwa manusia hanyalah gumpalan daging pasif yang dikendalikan oleh hormon dan gairah semata. Lantas bagaimana dengan bentuk payudara perempuan.? Pada saat memasuki masa pubertas, tubuh perempuan secara tidak sadar akan memproduksi dan melepaskan hormon estrogen. Hormon ini yang kemudian merangsang kelenjar susu dipayudara yang menyebabkan payudara menjadi lebih besar. Sejalan dengan itu, Beauvoir juga menjelaskan bahwa hormon bersifat “fluid” yaitu tidak dapat di ukur, dan dapat bertambah atau berkurang tergantung pada pola hidup seseorang, maka tidak seharusnya masyarakat memberikan aturan atau yang lebih parahnya lagi memberikan “cap” tentang bagaimana seharusnya wujud, tingkah laku, dan peran perempuan dalam masyarakat. Sebab, perempuan yang memiliki ukuran payudara di atas ketentuan itu di pandang sebagai pemuas nafsu semata. Padahal tidak ada hak atau aturan tertulis terkait ketentuan tentang bagaimana ukuran tubuh seseorang.
Disinilah letak permasalahanya, bahwa istilah “tobrut” mengobjektifikasi citra negatif pada tubuh perempuan yang dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan diri (insecure). Rasa tidak percaya diri ini didorong oleh rasa tidak nyaman, dipermalukan, sehingga berdampak pada tekanan psikologis seseorang. Alih-alih melawan streotipe ini, kebanyakan orang malah ikut mempopulerkan hal tersebut. Mereka tidak memperdulikan dampak negatifnya, hanya mengikuti trend untuk mendapatkan popularitas. Miris!!. Dengan demikian, kita sebagai manusia yang dibekali dengan akal seharusnya bisa untuk lebih menghargai wujud dari seseorang. Sebab Tuhan telah menciptakan mahkluknya dengan bentuk yang sebaik-baiknya. Sehingga bukanlah hak kita untuk menilai bahkan mengadili fisik orang lain. Popularitas istilah-istilah seperti ini menunjukan bahwa pencapaian, kepribadian, dan keunikan perempuan masih belum dihargai. Maka sebaiknya, mari kita saling membersama untuk memperjuangkan hak-hak perempuan dengan menghilangkan streotipe tentang tubuh perempuan. (*)
Oleh: Wida
“Mahasiswa Sastra Inggris Universitas Khairun Ternate”
Discussion about this post