JAKARTA – Anggota Komisi III DPR Benny K Harman mengatakan, perlu ada harmonisasi antara rancangan Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (RKUHP) dan Undang-Undang Nomor 40 tentang Pers. Tujuannya agar kebebasan pers tetap terjaga jika RKUHP disahkan menjadi undang-undang.
“Usul saya, yang ada di undang-undang pers dimasukkan di sini, supaya tidak menimbulkan kecurigaan.” ujar Benny di Jakarta, Selasa (19/7).
Ia sepakat bahwa sejumlah pasal dalam RKUHP mengancam kebebasan berpendapat dan pers. Salah satunya adalah Pasal 218-220 tentang tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wakil presiden.
Ia mengatakan, harmonisasi antara RKUHP dan UU Pers setidaknya dapat menghilangkan kecurigaan bahwa kitab hukum pidana terbaru Indonesia itu bakal memberangus kebebasan pers. Ia menambahkan, definisi kritik juga sudah dijelaskan dalam RKUHP yang telah diserahkan kepada DPR.
Di sisi lain, ia meminta pers tidak perlu khawatir dengan RKUHP. Sebab, ada prinsip bahwa hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum.
Ia menjelaskan, pers tetap berpegang teguh kepada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Bagi media, UU Pers statusnya lebih tinggi dibanding RKUHP.
UU Pers merupakan undang-undang untuk mengatur pers, sedangkan RKUHP bersifat umum, karena itu yang mengatur ketentuan umum. “Posisinya tidak berubah, ketentuan khusus yang ada di UU Pers tidak bisa dianulir UU KUHP, karena sifatnya umum. Jadi teman-teman pers tidak usah takut,” ujar Benny.
Ketua Komisi Pendataan, Kajian, dan Ratifikasi Pers Dewan Pers Ninik Rahayu mengatakan, Dewan Pers mengevaluasi pasal bermasalah dalam RKUHP berdasarkan draf yang beredar di internet. Sebab sampai saat ini, Dewan Pers belum menerima draf resmi RKUHP dari pemerintah.
“Dewan Pers sebetulnya sampai saat ini belum mendapatkan draf resmi yang dikirimkan pemerintah kepada DPR yang diserahkan pada 4 Juli yang lalu,” ujar Ninik.
Dewan Pers berencana bertemu dengan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) untuk membahas RKUHP pada Rabu (20/7) hari ini. Dalam forum tersebut, Dewan Pers ingin menyampaikan pasal-pasal mana saja yang berpotensi menghilangkan kebebasan pers.
“Untuk memastikan apakah yang sekarang ini menjadi pembahasan di ruang publik, diskursus di ruang publik adalah draf yang diserahkan pemerintah kepada DPR,” ujar Ninik.
Berdasarkan draf yang beredar di internet, Dewan Pers berpendapat RKUHP berpotensi memberangus kebebasan pers, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Setidaknya, ada sembilan pasal yang berpotensi yang didesak untuk direvisi atau diubah.
Selain pasal 218-220, delapan pasal lainnya, yakni pasal 188 tentang tindak pidana terhadap ideologi negara, pasal 240 dan 241 tentang tindak pidana penghinaan pemerintah yang sah, dan pasal 246 dan 248 tentang penghasutan untuk melawan penguasa umum. Kemudian, pasal 263 dan 264 tentang tindak pidana penyiaran dan penyebarluasan berita atau pemberitahuan bohong dan pasal 280 tentang tindak pidana gangguan dan penyesatan proses peradilan.
Pasal 302-304 tentang tindak pidana agama terhadap agama dan kepercayaan, dan pasal 351-352 tentang tindak pidana penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara. Kemudian, pasal 440 tentang tindak pidana penghinaan pencemaran nama baik, dan pasal 437, 443 tentang tindak pidana pencemaran.
Dewan Pers meminta agar sembilan pasal yang berpotensi memberangus kebebasan pers untuk dihapus dari RKUHP. Jika tidak dihapus, RKUHP berpeluang menghilangkan kebebasan pers sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999. (republika)
Discussion about this post