TERNATE,MS — Seorang penyidik pembantu di Satreskrim Polres Ternate berinisial GDP diduga berkerja tidak profesional. Pasalnya, pihaknya sempat memaksa ibu korban untuk mengakui melakukan menganiayaan terhadap pelaku pencabulan atas nama Ramah Hamzah (30)
Padahal, ibu korban sendiri tidak tahu menahu terkait peristiwa yang menimpa pelaku bernama Rama itu, namun penyidik terus memaksa bahkan menekan dengan nada tinggi agar korban menyebut siapa saja yang ikut melakukan dugaan penganiayaan terhadap pelaku.
Dikataka, ibu korban dilaporkan oleh keluarga pelaku di Satreskrim Polres Ternate terkait dugaan penganiayaan. Nahasnya, laporan tersebut didahulukan sebelum kasus yang dilaporkan oleh korban di Polsek Ternate Selatan naik ke tahap dua.
Kuasa Hukum korban Zulfikran Bailussy menyampaikan, bahwa sekali pun itu benar terjadi, diamana Ibu korban sempat melakukan tindakan pemukulan terhadap pelaku, maka tindakan tersebut merupakan sikap spontan yang bisa dilakukan oleh siapa saja sebagai orang tua pada saat mengetahui putri kesayangannya dicabuli dan disetubuhi orang.
“Pada saat menjalani pemeriksaan, penyidik terkesan menekan terlapor untuk mengakui bahwa nama yang disebutkan pelaku pencabulan atau pelapor. Tentu ini tidak etis, seharunya penyidik tidak hanya berpatokan pada keterangan satu pihak”, ujar Zulfikram kepada seputarmalut Sabtu (24/08).
Menurutnya, penyidik unit Jatanras Polres Ternate harus mampu melihat persoalan ini dari sisi sosial dan spikologi korban yang mengalami pelecahan dan persetubuhan secara berulang kali. Sehingga tidak terkesan memihak pada pelaku yang jelas melakukan tindak pidana kejahatan.
“Jangan hanya berpatokan pada bunyi pasal dan unsur tindak pidananya akan tetapi lihat juga mengapa sampai terlapor melakukan tindakan secara spontan terhadap pelaku yang mencabuli anaknya. Saya pastikan situasi itu bakal dilakukan oleh siapa saja saat anaknya mengalami hal yang sama”, pungkasnya.
Lebih lanjut, Zulfikran mengatakan penyidik mestinya mencari bukti lainnya baik keterangan terlapor dan saksi-saksi lainnya. Pemanggilan kliennya, kata Zulfikran, masih berstatus terlapor untuk dimintai klarifikasi.
“Seharunya penyidik mencari bukti lain seperti saksi-saksi korban untuk menentukan apakah ini ada unsur pidananya atau tidak, bukan menekan dan menduga terlapor memberikan keterangan palsu. Apalagi dengan nada-nada tinggi seperti orang marah”, imbuhnya.
Zulfikran menjelaskan dalam tata cara penyelidikan dan penyidikan dilakukan berdasarkan Keputusan Kapolri Nomor : Pol.SKep/1205/IX/2000 tentang Revisi Himpunan Juklak dan Juknis Penyidikan Tindakan Pidana.
“Jadi Keputusan itu kan sudah jelas saat dilakukan pemeriksaan, dilarang menggunakan kekerasan atau penekanan dalam bentuk apapun saat pemeriksaan. Kami hanya minta penyidik kooperatif dalam melihat kasus ini jangan sampai muncul persepsi negatif di publik”, ungkapnya.
Sebelumnya, pelatih taekwondo di Ternate telah melakukan pelecehan dan atau persetubuhan terhadap siswinya berusia 11 tahun. Palaku melancarkan aksinya sebanyak empat kali ditempat yang berbeda, bahkan kejadian sekali dilakukan di salah satu hotel di Ternate.
Setelah perbuatannya diketahui, ibu korban tidak lagi mengizinkan anaknya berlatih taekwondo. Namun, pelaku nekat mendatangi rumah korban dan memaksa agar kembali berlatih bersamanya hingga terjadi cekcok yang mengakibatkan ibu korban menampar pelaku karena merasa shock.
Paska kejadian, pelaku dilaporkan di Polsek Ternate Selatan terkait tindak pidana pencabulan dan persetubuhan pada 28 Juni 2024 lalu. Palaku telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan untuk penyidikan lebih lanjut.
Sementara Kasat Reskrim Polres Ternate Iptu Bondan Manikotomo, mengatakan pemanggilan ibu korban oleh pihaknya sebagai saksi. Hal tersebut dilakukan karena adanya laporan dugaan penganiayaan terhadap pelatih taekwondo.
“Masih minta keterangan saja sebagai terlapor. Terkait tekanan, kami akan ingatkan penyidik, terimaksih masukannya”, kata Bondan saat dikonfirmasi pada Sabtu (24/08).
Discussion about this post