Aimas, 10/6 (ANTARA) – Alam Papua memiliki keanekaragaman hayati yang luar biasa. Hutan hujan tropis Papua pun merupakan salah satu belantara terbesar yang tersisa di dunia, yang melindungi spesies-spesies unik dan langka, seperti burung cenderawasih, kanguru pohon, dan berbagai satwa langka lainnya.
Selain spesies langka yang menghuni alam hutan Papua, keunikan lain yang dimiliki hutan di provinsi ini adalah kemampuannya memberi kehidupan bagi masyarakat setempat.
Masyarakat adat Suku Moi merupakan salah satu suku Papua yang mendiami sebagian besar wilayah Kabupaten Sorong dan Kota Sorong, Provinsi Papua Barat Daya. Warga Suku Moi menghuni Distrik Makbon dengan wilayah adat mencakup sekitar 400 ribu hektare.
Suku Moi terbagi menjadi tujuh subsuku, yakni Suku Moi Kelim, Moi Abun That, Moi Abun Jhi, Moi Salkma, Moi Klabra, Moi Lemas, dan Moi Maya.
Ketua Dewan Adat Malaumkarta Raya, Spenger Malasamuk, menyebut hutan dan manusia tak terpisahkan satu dengan yang lain berdasarkan konsep yang dimiliki Suku Moi.
Hutan adalah tumpuan hidup masyarakat adat Suku Moi. Melalui hutan, masyarakat adat setempat bisa mendapatkan apa yang mereka butuhkan, seperti makanan dan sumber lain yang dimanfaatkan untuk pemenuhan ekonomi keluarga.
“Bagi kami orang Papua, khususnya masyarakat adat Suku Moi yang tinggal di wilayah pesisir Makbon, Kabupaten Sorong, hutan merupakan sumber kehidupan,” kata Spanger Malasamuk.
Salah satu keunikan dari suku ini yaitu penerapan konsep pengolahan hutan berdasarkan sistem pemetaan bagi setiap marga di wilayah Kampung Malaumkarta, Distrik Makbon.
Konsep pengolahan hutan itu ternyata sudah menjadi satu warisan budaya yang terus dihidupkan dan menjadi dasar dalam pengolahan hutan. Sistem pemetaan ini menjadi dasar pengolahan hutan dimaksudkan untuk bisa meminimalisasi terjadinya konflik antarmarga di dalam Suku Moi.
Pemanfaatan hutan oleh setiap marga sudah ditentukan berdasarkan pemetaan. Setiap marga boleh mengambil apa saja untuk pemenuhan kebutuhan keluarga tanpa harus mengambil milik orang lain.
Di Kampung Malaumkarta terdapat 14 marga yang berhak mengolah hutan berdasarkan pemetaan, terdiri atas Kalami Kinipelik, Kalami Tiloke, Kalami Matiligek, Malasamuk, Magablo Lingsuok, Mubalen, Sapisa, Su, Salamala, Ulimpa, Su, marga Magablo pesisir, dan marga Do.
Budaya Egek
Sistem budaya lain yang dianggap penting penerapannya sebagai bagian dari menjaga kelestarian hutan adalah budaya egek. Egek adalah kearifan lokal yang menjadi sistem nilai adat Suku Moi untuk melarang atau melindungi wilayah hutan adat marga yang menjadi sumber kehidupan mereka.
Penerapan egek ini sebagai salah satu cara strategis Suku Moi melestarikan alam untuk menunjang kebutuhan hidup masyarakat adat setempat dengan memberikan waktu jeda bagi alam untuk beregenerasi.
Egek merupakan warisan budaya dari zaman dulu yang diturunkan dari generasi ke generasi hingga saat ini. Tujuannya adalah memberikan kesempatan kepada alam untuk membarui dan memulihkan kondisi sebelum diolah kembali untuk pemenuhan kebutuhan.
Pada kondisi itu, masyarakat dilarang secara adat untuk mengambil hasil hutan selama tenggang waktu yang telah ditentukan.
Budaya egek yang terus dipertahankan hingga masa kini merupakan cara masyarakat Kampung Malaumkarta menjaga alam, terutama hutan sebagai sumber penghidupan.
Secara filosofis, Suku Moi mengakui hutan dan tanah itu adalah kehidupan. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat adat Suku Moi benar-benar menggantungkan hidup mereka dari kekayaan hutan miliknya.
Intelektual Moi, Torianus Kalami, menyebut pentingnya keberpihakan Pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat adat Suku Moi melalui sebuah regulasi. Hal itu sebagai salah satu cara untuk menjaga hak masyarakat adat dan hutannya, kemudian memberikan ruang bagi mereka untuk memanfaatkan hutan secara baik dan proporsional.
“Kami butuh regulasi Pemerintah untuk memastikan perlindungan terhadap masyarakat adat itu terpenuhi,” kata Torianus.
Hingga kini Pemprov Papua Barat Daya belum memiliki regulasi khusus terkait perlindungan terhadap masyarakat adat. Namun di beberapa kabupaten, seperti Kabupaten Sorong telah memiliki Peraturan Daerah (Perda) Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Suku Moi.
Implementasi perda tersebut penting sebagai bentuk dukungan dan keberpihakan Pemerintah kepada masyarakat adat demi mencegah laju deforestasi hutan di Tanah Papua. Di sisi lain, hal itu juga penting guna mengakomodasi pembangunan berkelanjutan bagi masyarakat adat.
Oleh karena itu, Pemkab Sorong diminta segera menerbitkan regulasi turunan dari perda tersebut untuk mengatur lebih detail soal soal percepatan pemetaan wilayah adat dan hal-hal lain berkaitan dengan kepentingan masyarakat adat.
“Ini menjadi dasar mitigasi terhadap persoalan-persoalan yang terjadi di hutan Papua,” ujarnya.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sorong, Agustinus Asem menyebut terbitnya Perda Nomor 10 Tahun 2017 sebagai bentuk pengakuan dari pemerintah setempat akan eksistensi masyarakat adat Suku Moi sebagai pemilik utama dari tanah dan hutan yang ada di wilayahnya.
Tidak hanya itu, perda itu juga memberikan ruang bagi masyarakat adat untuk ikut terlibat dalam melestarikan alam supaya bisa memberikan dampak bagi kehidupan selanjutnya sehingga harus dikelola secara bijak dan proporsional.
Saat ini Pemkab Sorong membentuk kelompok masyarakat yang dilibatkan dalam upaya menjaga lingkungan alam. Sebab, menjaga hutan tidak hanya tugas dan tanggung jawab Pemerintah, tetapi membutuhkan keterlibatan masyarakat adat.
Editor: Achmad Zaenal M
Oleh Yuvensius Lasa Banafanu
Editor : Achmad Zaenal M
Discussion about this post